Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Proses hukum yang dianggap penuh kejanggalan membuat keluarga dua terdakwa kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), yakni Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo, bersikeras mencari keadilan. Pasalnya, putusan hakim selama ini dinilai menciderai keadilan terdakwa.
“Yang pasti, pascaputusan kasasi Mahkamah Agung, saya akan terus berjuang. Apakah akan dilakukan PK atau langkah lainnya. Sebab, anak-anak kami sudah sangat menderita,” kata Ratna Indiastuti, istri Ricksy dalam keterangan tertulis yang diterima KONTAN, Rabu (18/6).
Pernyataan senada disampaikan Sumiyati, istri dari terdakwa Herland bin Ompo. Bahkan, Sumiyati mengatakan, akibat kasus ini bisnis yang dirintis oleh suaminya kini berada dalam kondisi hancur. “Sebanyak 1.000 karyawan terpaksa kami PHK. Lebih dari itu, kami masih harus membayar ganti rugi sebesar US$6 juta sesuai putusan hakim,” katanya.
Sumiyati pun menaruh asa pada peluang langkah hukum lanjutan, termasuk Peninjauan Kembali (PK). Hanya saja, dia berharap, hakim di tingkat PK kelak mampu menggunakan ilmu dan nuraninya dalam membuat keputusan kelak.
Asal tahu saja, pada awal Februari lalu, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum (JPU) dan memperberat hukuman terdakwa Ricksy. MA membatalkan putusan pengadilan tinggi (PT) dan menyatakan kembali kepada putusan Pengadilan Tipikor dengan menjatuhkan pidana lima tahun penjara. Putusan itu sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang meringankan hukuman terdakwa menjadi tiga tahun.
Di Pengadilan Tipikor, Ricksy yang merupakan Direktur PT Green Planet Indonesia, salah satu perusahaan kontraktor bioremediasi, divonis bersalah dan dijatuhi hukuman lima tahun dalam kasus yang dinilai merugikan negara Rp 100 miliar. Chevron sendiri mengaku proyek ini masih sepenuhnya dibiayai Chevron dan tak menggunakan sepeserpun uang negara.
Selain Ricksy, MA juga telah memutus sidang kasasi atas terdakwa Herland bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya, pada April 2014. Herland dijatuhi hukuman enam tahun penjara, denda ratusan juta rupiah, dan diwajibkan membayar yang pengganti kerugian negara sebesar US$6,9 juta.
PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) merupakan perusahaan eksplorasi minyak bumi yang terikat production sharing contract (PSC) dengan BP Migas yang saat ini berubah menjadi SKK Migas. PT CPI, selaku perusahaan PSC, mempunyai salah satu kewajibanya itu memulihkan lahan-lahan yang tercemar akibat operasi dan eksplorasi.
Sejak 1994 teknologi bioremediasi diuji dan terbukti ampuh untuk memulihkan tanah dan izin pun diterima PT CPI pada 2002 dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk penerapan bioremediasi di lahan operasi PT CPI di Riau yang dimulai pada 2003.
Dalam pelaksanaan bioremediasi ini, CPI menggelar tender di sejumlah lokasi yang menjadi wilayah kerja operasinya. Sepanjang 2006 sampai 2012, ada puluhan tender yang digelar PT CPI. PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya memenangkan sejumlah tender yang dilakukan dengan seleksi yang ketat dan transparan.
Corporate Communication Manager Chevron Indonesia, Dony Indrawan menjelaskan, bahwa proses tender yang dijalankan telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dandikonfirmasi oleh pihak berwenang yang menerbitkan peraturan tersebut.
“Karyawan kami dan kontraktor yang telah bekerja sesuai dengan tugasnya dalam proyek yang telah disetujui, diawasi oleh instansi pemerintah yang berwenang dengan hasil nyata semestinya memperoleh perlindungan dan jaminan hukum,” ujarnya.
Menurut Dony, kasus yang berlabel korupsi padahal tidak ada satu pun bukti yang hadir dipersidangan soal kerugian negara ataupun tindakan pidananya, telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi para terdakwa dan keluarganya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News