Reporter: Siti Masitoh | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku 1 Januari 2025 masih menjadi polemik.
Hasil kajian Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkap, kebijakan tarif PPN 12% berisiko mulai menurunkan produk domestik bruto (PDB) hingga pengeluaran masyarakat.
Celios menyebut, PPN 12% berisiko menurunkan PDB hingga Rp 65,3 triliun. Kenaikan PPN menjadi 12% juga mengurangi jumlah konsumsi rumah tangga sebesar Rp 40,68 triliun.
“Artinya, PPN 12% mengancam ekonomi 2025,” ungkap Celios dalam kajian, Minggu (1/12).
Baca Juga: Ekonom: UMP Bisa Ditingkatkan Lebih Tinggi Untuk Mengangkat Konsumsi Masyarakat
Berikut dampak kenaikan tarif PPN menjadi 12% bagi sejumlah kelas masyarakat:
- Meningkatkan pengeluaran pekerja sebesar Rp 357.000 per bulan
- Menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp 101.880 per bulan
- Kelompok rentan miskin mengalami tambahan beban pengeluaran Rp 153.871 per bulan
- Kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 per bulan.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% juga memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan. Kenaikan PPN 12% dapat memicu permasalahan sosial seperti tingkat perceraian karena alasan ekonomi, dan tekanan mental (mental health) bagi Gen Z.
Gen Z harus membayar Rp 1,75 juta lebih mahal per tahun karena selisih tarif PPN dibanding tahun sebelumnya. Gen Z dari segi umur paling dirugikan dengan adanya kenaikan tarif PPN.
Baca Juga: Studi Celios, PPN 12% Bisa Picu Perceraian Hingga Mental Health Gen Z
Melihat permasalahan tersebut, Celios menyarankan agar ketimbang menaikkan PPN, pemerintah masih memiliki alternatif penerimaan negara lainnya yang tidak membebani masyarakat miskin, seperti pajak kekayaan (wealth tax), pajak produksi batubara, pajak windfall komoditas, dan implementasi pajak karbon.
Potensi pendapatan dari menutup kebocoran pajak di sektor kelapa sawit sebesar Rp 300 triliun dan kebocoran pajak digital (perusahaan over the top) jauh lebih signifikan dalam menaikkan rasio pajak.
Untuk memperbesar ruang fiskal, pemerintah juga sebenarnya masih bisa mengevaluasi kembali proyek mangkrak, penghentian proyek IKN yang membebani APBN, serta pengurangan penyertaan modal pada BUMN yang tidak produktif, yang dapat menghemat anggaran puluhan triliun rupiah.
Lebih lanjut, Celios menyebut, jika ditilik lebih mendalam skema APBN terdapat persoalan terhadap belanja kementerian atau lembaga terjadi di beberapa sektor yang dinilai boros dan tidak tepat sasaran.
Baca Juga: Inflasi 2025 Diproyeksi Naik, Imbas Cukai Minuman Manis Hingga Konsumsi yang Membaik
Misalnya Kepolisian sebagai institusi dengan anggaran jumbo, dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), 5 tahun terakhir selalu di atas Rp 100 triliun per tahun, bahkan akan dinaikkan pagunya di tahun 2025 menjadi Rp 126 triliun.
Meski begitu, besarnya alokasi anggaran ternyata tumpul dalam memberantas korupsi sebagai upaya menutup kebocoran pendapatan negara. Di sisi lain wajah kepolisian justru menampilkan penegakan hukum yang represif dan punitif terhadap warga yang kritis di tengah iklim demokrasi.
“Akhirnya praktik kriminalisasi atau penegakan hukum yang dipaksakan menjadi rumus ampuh yang berkontribusi terhadap menyempitnya ruang-ruang demokrasi,” mengutip keterangan tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News