kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kadin beri lima catatan yang harusnya ada dalam RUU Omnibus Law Perpajakan


Senin, 03 Februari 2020 / 15:36 WIB
Kadin beri lima catatan yang harusnya ada dalam RUU Omnibus Law Perpajakan
ILUSTRASI. Wakil Ketua Umum Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Raden Pardede


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

Ketiga, perluasan basis pajak. Di semua sektor dan skala usaha. Dalam hal ini Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) harus diperluas. Sebab, cakupan kedua pos penerimaan jenis pajak terbesar itu dirasa masih sangat terbatas terlalu banyak yang dikecualikan.

“Semua harus bayar pajak. Sementara pihak yang kecil yang miskin dapat dikreditkan kembali atau ditransfer melalui belanja. Kebanyakan harusnya untuk kepentingan publik dan kepentingan yang lebih kecil,” kata Raden dalam Rapat Dengan Pendapat Umum  (RDPU) terhadap RUU Omnibus Law dan Kebijakan Perpajakan Tahun 2020 dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, di Kompleks MPR/DPR RI, Senin (3/2).

Baca Juga: Pemerintah menegaskan siap dalam pembahasan omnibus law cipta lapangan kerja

Keempat, penyederhanaan sistem perpajakan dan transparansi pajak. Sehingga memicu compliance-nya makin baik. Kelima, membangun tingkat kepercayaan antara pembayar pajak dan petugas pajak. Raden mengaku ini harus terus kita perbaiki. Sebab, selama ini pengusaha menilai masih tetap ada semacam ketidakpercayaan antara kedua belah pihak.  

“Adanya kesetaraan dalam hal pengajuan keberatan. Perbedaan pajak yang dibayar berdasarkan auditor yang  dilakukan oleh pemeriksa pajak. Ini juga sering jadi dispute antara kedua pihak,” ungkap Raden.

Baca Juga: Pemerintah dinilai belum siap bahas omnibus law cipta lapangan kerja

Raden menambahkan selain berbekal omnibus law, pemerintah perlu pengkaji lagi perluasan cakupan barang kena cukai. Sebagai contoh cukai karbon untuk Bahan Bakar Minyak (BBM). Menurutnya, cara ini masih relevan karena mayoritas pengguna BBM berasal dari masyarakat yang punya kemampuan membayar. 

“Mungkin seperti kami ini tidak keberatan kalau bayar bensin lebih tinggi. Tapi kalau tidak dilakukan kita juga senang-senang aja. Jadi Ini masih punya peluang kalau ada pajak BBM,” ujar dia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×