kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.932.000   -33.000   -1,68%
  • USD/IDR 16.605   3,00   0,02%
  • IDX 6.767   17,72   0,26%
  • KOMPAS100 979   5,15   0,53%
  • LQ45 762   4,33   0,57%
  • ISSI 215   0,81   0,38%
  • IDX30 395   2,48   0,63%
  • IDXHIDIV20 471   1,18   0,25%
  • IDX80 111   0,53   0,48%
  • IDXV30 115   0,73   0,63%
  • IDXQ30 130   0,90   0,70%

Joko Supriyono: Pemerintah tak ikut capek, mengambil begitu saja


Senin, 04 April 2011 / 09:55 WIB
Joko Supriyono: Pemerintah tak ikut capek, mengambil begitu saja
ILUSTRASI. AIPO Dyandra: Presiden Direktur PT. Dyandra Media International Tbk (DMI) Lilik Oetama (tengah) berpose bersama jajaran direksi saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/2). DMI berencana melepas 1,282 miliar saham baru atau 30% dari modal disetor sesud


Reporter: Herry Prasetyo, Epung Saepudin, | Editor: Edy Can

Tidak hanya soal bea keluar yang merisaukan pengusaha sawit. Mereka juga gelisah menanti pelaksanaan rencana moratorium izin penebangan hutan yang saat ini tengah dibahas pemerintah. Maklum, bila dilaksanakan, kebijakan itu jelas akan menghambat rencana perluasan kebun sawit. Pengusaha mengusulkan agar hanya hutan lindung dan hutan konservasi saja yang masuk dalam program moratorium itu.

Gapki juga menyoroti ketidakjelasan kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri hilir nasional. Di saat ada rencana pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, pengembangan industri hilir bahan bakar nabati (biodiesel) justru mandek.

Nah, untuk mengetahui beragam persoalan seputar industri sawit, Kamis (31/3) pekan lalu, dua jurnalis KONTAN, Epung Saepudin dan Herry Prasetyo, mewawancarai Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gapki, yang juga Direktur Operasional PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI). Berikut nukilannya:

KONTAN: Gapki tetap menolak bea keluar. Memang apa efeknya bagi industri sawit?
JOKO: Sekarang, tarif bea keluar turun akibat ada perubahan harga CPO. Tapi, yang kita persoalkan bukan perubahan tarif akibat harga CPO, melainkan struktur bea keluar itu sendiri. Sekarang, tiap bulan, tarif memang berubah. Tapi, bea keluar progresif itu tidak berkeadilan.

KONTAN: Bea keluar yang berkeadilan itu seperti apa?
JOKO: Sekarang ini, struktur progresif itu salah kaprah; makin tinggi harga CPO, makin tinggi bea keluar. Ini tidak adil karena yang menikmati tarif progresif itu negara, bukan margin perusahaan atau margin petani yang meningkat. Dana itu banyak masuk kantong pemerintah. Dalam situasi harga naik, margin perusahaan dan margin petani sebenarnya tidak naik, atau kalau naik, sedikit sekali. Ini tidak fair karena yang capek itu petani dan perusahaan. Pemerintah yang tidak berbuat apa-apa mengambil begitu saja.

KONTAN: Ada argumentasi bahwa hasil bea keluar dikembalikan ke pengusaha seperti dalam bentuk infrastruktur?
JOKO: Dulu, pajak progresif disetujui karena ada janji bahwa hasil bea keluar itu bisa dikembalikan untuk pengembangan industri hilir. Tapi, faktanya, secara undang undang, itu tidak mungkin. Kami sudah berjuang ke sana kemari, namun Undang-Undang Keuangan Negara tidak memungkinkan industri meminta kembali uang yang sudah masuk ke APBN. Hanya kementerian yang bisa meminta kembali dan harus melalui daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA). Karena itu, bea keluar sudah tidak relevan.

KONTAN: Artinya, selama ini, bea keluar itu tidak jelas peruntukannya?
JOKO: Pertama, yang paling penting, bea keluar dikembalikan ke tujuan awalnya, yakni untuk stabilisasi harga komoditas tertentu di samping untuk melindungi sumber daya alam dan pengembangan industri. Dalam regulasinya, jelas bahwa dana bea keluar bukan untuk penerimaan negara. Kedua, yang paling berhak menikmati tak lain para pelakunya, yakni perusahaan dan petani.

KONTAN: Usul Gapki?
JOKO: Mestinya, pungutan ekspor itu fixed atau flat. Pungutan itu berdasarkan per satuan ekspor atau per satuan volume, misalnya 3%. Sehingga, naik sampai berapa pun, pemerintah tetap dapat. Pengusaha dan petani pun menikmati dampak kenaikan harga itu.

KONTAN: Jadi, itu yang paling tepat?
JOKO: Iya, petani dapat, pengusaha dapat, pemerintah juga dapat. Makin tinggi harga, makin tinggi juga nilai yang didapatkan. Kalau sekarang, pengusaha akan memilih harga CPO US$ 990 per ton ketimbang harga naik US$ 101 dollar. Karena, ketika harga naik US$ 101 (menjadi di atas US$ 1.000 per ton), tarif bea keluar langsung naik 2,5%. Ini yang disebut progresif.

KONTAN: Yang menentukan harga, kan, bukan pemerintah, melainkan pasar?
JOKO: Ya, dulu kita berdoa harga tidak mencapai US$ 1.000 per ton. Karena, bea keluar bukan satu-satunya pungutan. Jika harga naik tinggi, sales-nya tetap berkurang 25% untuk bea keluar. Lalu, baru dikurangi biaya lain-lain, dan sisanya net profit yang masih dipotong Pajak Penghasilan (PPh) 25%. Kalau kita cari kebijakan yang berdampak positif ke sawit, enggak ada.

KONTAN: Berapa bea keluar yang didapat negara setahun?
JOKO: Setiap bulan bisa berbeda-beda. Yang jelas, jika ekspor CPO kita 15 juta ton bisa sampai Rp 20 triliun.

KONTAN: Jadi, instrumen bea keluar tak memberi efek sama sekali ke industri hilir?
JOKO: Kalau untuk mengembangkan industri hilir, instrumennya bukan bea keluar. Itu yang akan kita ributkan terus seperti sekarang ini. Karena, itu tidak nyambung. Lihat sekarang, katanya, bea keluar itu untuk stabilisasi harga minyak dan industri hilir. Tapi, apakah sekarang harga minyak goreng murah? Tidak. Berarti instrumen itu enggak cocok. Apakah dengan bea keluar 25% ini industri hilir berkembang? Tidak juga. Itu fakta. Bea keluar itu hanya mampu mengurangi margin pengusaha dan petani.

KONTAN: Jadi, bea keluar memang mesti dihapus?
JOKO: Pemerintah, kesan saya, pura-pura saja dengan mengatasnamakan industri hilir dalam negeri, tapi sebenarnya ingin meningkatkan pundi-pundi pendapatan negara dari bea keluar CPO. Padahal, regulasi yang jelas akan membuat orang pasti, bisnis pun akan jalan sendiri, bahkan meskipun infrastruktur tidak ada. Contohnya Sulawesi. Di sana, sawitnya sudah banyak, CPO sudah besar, Tapi, memangnya, pemerintah memikirkan dijual lewat mana? Toh, pengusaha jalan saja. Mereka menanam, panen, dan mengirim dengan segala cara. Jadi kalau tidak ada infrastruktur yang dibikin pemerintah, perusahaan akan berjuang sendiri.

Selengkapnya baca di mingguan KONAN edisi 4-10 April 2011 yang terbit pekan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM) Negotiation Mastery

[X]
×