Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Anggaran program makan siang gratis yang diusung pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka kemungkinan akan bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, anggaran dana BOS yang sifatnya eksisting tidak akan cukup jika dialihfungsikan untuk memenuhi program makan siang gratis.
Terlebih anggaran BOS makin tahun juga terus menurun.
Baca Juga: Perhimpunan Guru Tolak Dana BOS Digunakan Untuk Prorgam Makan Siang Gratis
Eko juga menilai, masih banyak sekolah-sekolah utamanya di daerah yang memerlukan dana BOS tambahan.
“Artinya sudah ada dana BOS ini membantu, tetapi sekolah-sekolah masih berharap dana BOS lebih ditingkatkan. Tapi tujuannya bukan untuk makan siang,” tutur Eko kepada Kontan.co.id, Minggu (3/3).
Di samping itu, menurutnya jika program makan siang gratis ini menggunakan dana BOS, maka beban guru di sekolah juga akan bertambah dan akan mengganggu kinerja serta tanggung jawabnya untuk mencerdaskan anak bangsa.
Baca Juga: Fraksi PKS Tolak Program Makan Siang Gratis Diambil dari Dana BOS
Eko juga tidak sepakat jika memang anggaran dana BOS nantinya akan tambahkan jika memang anggaran program makan siang gratis akan ditetapkan dalam dana BOS.
Sebab, jika pemerintah menambah anggaran tersebut secara otomatis akan menambah utang baru, dan bisa melebarkan defisit anggaran.
“Utang kita sudah besar. Memang dalam jangka pendek, pembayaran utang tahunan hanya 8%, tiga tahunan hanya 25%, tetapi lonjakan utang diera Pak Jokowi tinggi sekali dan pertaruhannya nanti,” ungkapnya.
Baca Juga: Program Susu Gratis Butuh Impor 2,5 Juta Sapi Perah
Selain itu, jika pemerintah tetap memaksakan pelebaran defisit untuk memenuhi program makan siang gratis, maka taruhannya adalah kondisi fiskal akan tidak stabil.
Bahkan, lanjut Eko, dampak selanjutnya adalah investor akan cenderung berpikir ulang untuk berinvestasi dalam negeri, karena melihat kondisi fiskal Indonesia yang tidak berkesinambungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News