Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Lesunya kinerja industri manufaktur membuat prospek penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan pada awal tahun 2025 belum menunjukkan pemulihan signifikan.
Ini merupakan efek dari pelemahan harga komoditas di beberapa tahun terakhir. Tercatat pada 2024 penerimaan pajak dari PPh Badan terkontraksi 18,1% menjadi Rp 335,8 triliun. Terbaru, penerimaan PPh Badan sampai akhir Maret 2025 tercatat sebesar Rp 61,1 triliun.
Meski begitu, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar memrpoyeksikan kedepan adanya peluang tren perbaikan secara bulanan. Namun demikian, perbaikan itu menurutnya lebih disebabkan oleh faktor teknis dan efek basis yang rendah pada tahun sebelumnya, bukan karena perbaikan mendasar dalam perekonomian.
Baca Juga: Industri Pertambangan Hingga Makanan Topang Penerimaan PPh Badan di Mei 2025
“Secara bulanan akan membaik karena ada faktor non-ekonomi yang mempengaruhi. Tapi secara year-on-year perbaikannya kemungkinan lebih karena basis penerimaan PPh Badan tahun 2024 kuartal II sampai IV yang rendah akibat pelemahan harga komoditas tahun 2022 ke 2023,” ungkapnya kepada Kontan, Jumat (11/7).
Fajry menjelaskan, karakteristik PPh Badan yang erat kaitannya dengan kinerja keuangan korporasi pada kinerja satu hingga dua tahun sebelumnya, membuat realisasi kuartal I-2025 masih terdampak dari pelemahan harga komoditas pada tahun-tahun sebelumnya.
Menurutnya, tren perlambatan ini bisa terus berlanjut, kecuali ada kebijakan bersifat administratif atau extra effort dari otoritas pajak. Ia mencontohkan jika terjadi perubahan ekonomi yang signifikan, maka korporasi maupun kantor pajak dapat menyesuaikan besaran angsuran PPh Badan.
Baca Juga: Penerimaan Perpajakan Diproyeksi Naik per Akhir Juni 2025, Ditopang PPh Badan dan PPN
“Misalnya, banyak korporasi atau kantor pajak akan melakukan dinamisasi yang menaikkan atau menurunkan angsuran PPh Badan sesuai kondisi terbaru,” jelasnya.
Fajry menekankan bahwa dalam membaca pergerakan PPh Badan, konteks makroekonomi harus dilihat secara historis, bukan hanya dari kondisi saat ini.
“Kalau kita kaitkan dengan kondisi makroekonomi, maka lebih tepat dikaitkan dengan kinerja korporasi satu atau dua tahun yang lalu,” katanya.
Baca Juga: Dirjen Pajak: Belum ada Wajib Pajak Ajukan Diskon Angsuran PPh Badan pada 2025
Selanjutnya: BRI-MI Gandeng DBS Indonesia Luncurkan Reksadana BRI Seruni Likuid Dolar
Menarik Dibaca: Dibimbing.id Rancang Pelatihan Hospitality Berbasis Asesmen Kebutuhan Perusahaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News