Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Belanja pemerintah menjadi salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi saat ini, terutama di tengah melemahnya konsumsi rumah tangga. Namun, pada kuartal I 2025, konsumsi pemerintah justru mengalami kontraksi sebesar 1,38%.
Kepala Pusat Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rizal Taufiqurrahman, menilai bahwa jika belanja pemerintah pada kuartal I dan II 2025 bisa tumbuh lebih agresif dibanding tahun sebelumnya terutama pada pos-pos strategis seperti infrastruktur, perlindungan sosial, ketahanan pangan, dan pemberdayaan UMKM maka sangat mungkin pertumbuhan ekonomi nasional bisa mendekati, bahkan melampaui, 5%.
“Sebab, dalam struktur produk domestik bruto (PDB) Indonesia, belanja pemerintah memiliki peran signifikan dalam menopang permintaan domestik, terlebih saat sektor ekspor sedang melemah dan investasi swasta belum sepenuhnya pulih,” ujar Rizal kepada Kontan, Senin (4/8/2025).
Baca Juga: Belanja Negara Semester I-2025 Hanya 38,8%, Pertumbuhan Ekonomi Berpotensi Terhambat
Sebagai catatan, hingga Juni 2025, realisasi belanja negara mencapai Rp 1.406,0 triliun atau 38,8% dari total pagu sebesar Rp 3.621,3 triliun. Realisasi ini tumbuh tipis, hanya 0,57% secara tahunan (year on year/yoy), dibandingkan dengan Juni 2024 yang mencapai Rp 1.398,05 triliun atau 42,05% dari pagu tahun lalu sebesar Rp 3.343,5 triliun. Meski nominalnya naik, secara persentase terhadap pagu, serapan tahun ini lebih rendah.
Contohnya, realisasi bantuan sosial hingga Juni 2025 mencapai Rp 78 triliun atau 57,7% dari pagu, naik 2,82% yoy dari Juni 2024 yang sebesar Rp 75,8 triliun atau 49,77% dari pagu.
Rizal menekankan bahwa apabila stimulus fiskal dikelola secara cepat, tepat, dan terarah, dampak penggandanya terhadap konsumsi rumah tangga, pendapatan masyarakat, dan aktivitas sektor informal akan terasa signifikan, terutama di daerah dengan belanja publik tinggi seperti desa dan wilayah tertinggal.
“Namun kenyataannya, realisasi belanja negara hingga pertengahan tahun ini justru stagnan, hanya tumbuh 0,57% yoy, dan secara proporsional lebih rendah dibanding tahun lalu,” jelasnya.
Situasi ini diperburuk oleh penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang lebih konservatif dibanding tahun sebelumnya. Pada 2025, pemerintah hanya mengalokasikan penggunaan SAL sebesar Rp 85,6 triliun, jauh lebih rendah dibanding Rp 151,4 triliun pada 2024.
Menurut Rizal, penggunaan SAL yang minim di tengah kebutuhan belanja pemerintah yang mendesak menunjukkan adanya preferensi fiskal yang terlalu berhati-hati. Padahal, saat konsumsi rumah tangga belum pulih sepenuhnya dan investasi swasta masih stagnan, pemerintah seharusnya hadir sebagai motor utama pemulihan melalui belanja modal dan perlindungan sosial yang efektif.
Baca Juga: Pemerintah Kebut Pertumbuhan Ekonomi di Semester II, Optimistis Capai 5,2% pada 2025
Ia juga mencatat bahwa beberapa program strategis seperti Dana Desa dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) justru mengalami kontraksi hingga pertengahan 2025, meskipun keduanya terbukti efektif mendongkrak konsumsi masyarakat di tingkat akar rumput.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi KUR hingga Juni 2025 hanya mencapai Rp 131,2 triliun atau 43,7% dari pagu Rp 280 triliun. Angka ini turun drastis, yakni 53,34% yoy, dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 282,4 triliun atau 100,86% dari pagu.
Sementara itu, realisasi Dana Desa hingga Juni 2025 mencapai Rp 38,1 triliun atau 46,3% dari pagu Rp 71 triliun. Jumlah tersebut turun 6,62% yoy dibandingkan Juni 2024 yang mencapai Rp 40,8 triliun atau 57,47% dari pagu.
“Maka dapat dikatakan bahwa tersendatnya belanja pemerintah menjadi salah satu faktor kunci yang menahan laju pertumbuhan ekonomi nasional di bawah ambang 5% pada semester pertama 2025,” terang Rizal.
Stimulus Fiskal Harus Menjadi Penopang di Tengah Tren Perlambatan
Rizal menilai bahwa perlambatan belanja negara menunjukkan adanya pelemahan efektivitas kebijakan fiskal sebagai instrumen akseleratif di tengah tren perlambatan ekonomi nasional.
“Ini sangat ironis. Ketika stimulus fiskal seharusnya menjadi bantalan utama untuk menopang permintaan agregat, justru terjadi execution delay dalam implementasi anggaran, terutama di level kementerian/lembaga yang mengalami kontraksi realisasi hingga 3,59%,” tegasnya.
Alih-alih menjadi penggerak, belanja negara justru tersendat. Hal ini, menurutnya, meningkatkan risiko hilangnya momentum pemulihan ekonomi yang sudah rapuh.
Secara struktural, Rizal menilai permasalahan ini tidak hanya soal realisasi anggaran, tetapi juga menyangkut ketidakefektifan kelembagaan dalam menjalankan kebijakan fiskal sebagai instrumen counter-cyclical yang responsif.
Baca Juga: Jelang Rilis Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025, Ini Kata Pemerintah
“Pejabat pengelola fiskal kerap menyatakan komitmen untuk mempercepat belanja negara, tetapi di lapangan realisasinya bertolak belakang. Proyek-proyek tertunda, proses lelang lambat, birokrasi berbelit, dan kehati-hatian yang berlebihan dalam menjaga defisit justru membuat kebijakan kehilangan daya gempur,” ungkapnya.
“Maka dari itu, yang tersisa adalah sebuah paradoks. Di satu sisi, fiskal dipuji sebagai tulang punggung pemulihan, namun di sisi lain justru melemahkan daya dorong ekonomi nasional,” pungkas Rizal.
Selanjutnya: Pinjol Ilegal Dominasi Laporan Hingga Juli, Pilih Fintech Legal OJK Agustus 2025
Menarik Dibaca: Yuk Lihat Jadwal KRL Solo Jogja pada Selasa 5 Agustus 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News