Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menegaskan, urgensi pemberlakuan cukai atas minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
CISDI menyebut Indonesia kini menempati peringkat kelima dunia dengan jumlah penderita diabetes dewasa terbanyak, yakni mencapai 20,4 juta orang pada 2024 (International Diabetes Federation/IDF).
Kondisi ini mendorong Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menegaskan urgensi penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebagai instrumen kesehatan publik.
Chief Research & Policy CISDI, Olivia Herlinda, menegaskan cukai MBDK tidak boleh dipandang semata-mata sebagai pajak baru. Instrumen fiskal ini terbukti efektif di 99 negara untuk mengendalikan konsumsi produk yang menjadi faktor risiko obesitas, diabetes, serta penyakit tidak menular lainnya.
Baca Juga: FKBI Dorong Pemerintah Kenakan Cukai pada Produk Minuman Manis Kekinian
Penegasan urgensi Cukai MBDK sebagai instrumen kesehatan publik ini juga merupakan respons terhadap pernyataan pemerintah yang berencana tidak mengenakan pajak baru maupun kenaikan tarif pajak pada 2026.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Penguatan Bukti Efektivitas Penerapan Cukai MBDK dari Hasil Studi Elastisitas Harga” di Jakarta pada pada Rabu (10/9), Chief Research & Policy CISDI, Olivia Herlinda, menyatakan cukai MBDK sebaiknya tidak diperlakukan seperti pajak baru, melainkan instrumen fiskal berbasis kesehatan yang terbukti efektif dan telah diterapkan di 99 negara.
“Cukai MBDK tidak semata-mata soal penerimaan negara. Cukai MBDK harus dipandang sebagai instrumen kesehatan publik berbasis bukti. Tujuan utama penerapan cukai adalah mengendalikan konsumsi produk yang menjadi faktor risiko obesitas, diabetes, dan penyakit tidak menular lainnya. Karenanya, cukai MBDK memiliki fungsi berbeda dari pajak konvensional yang berorientasi pada penerimaan negara,” kata Olivia di Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Tanpa intervensi, studi CISDI (2024) memperkirakan keterlambatan penerapan cukai MBDK berpotensi menimbulkan 8,9 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan 1,3 juta kematian akibat penyakit tersebut pada 2034.
Tanpa intervensi, studi CISDI (2024) memproyeksikan keterlambatan penerapan cukai MBDK bisa menimbulkan 8,9 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan 1,3 juta kematian pada 2034.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2024 juga menunjukkan sekitar 63,7 juta rumah tangga (68,1%) di Indonesia rutin mengonsumsi MBDK setiap minggu.
Sementara itu, studi CISDI (2025) menemukan kenaikan harga akibat cukai sebesar 20% dapat menurunkan konsumsi hingga 18% dan mendorong peralihan ke air mineral serta minuman tidak berpemanis.
Baca Juga: Cukai Minuman Manis untuk Produk Pabrikan, Efektivitas Pengendalian Gula Terbatas
Muhammad Zulfiqar Firdaus, Health Economics Research Associate CISDI, menegaskan penundaan cukai MBDK akan memperburuk krisis kesehatan masyarakat dan menambah beban ekonomi negara.
“Dengan adanya bukti ilmiah yang kuat, praktik baik internasional, dan komitmen lintas sektor, CISDI berharap pemerintah dapat segera menerapkan cukai MBDK paling lambat tahun 2026 sebagai bagian investasi kesehatan jangka panjang bagi masyarakat Indonesia,” ujar Zulfiqar.
Selanjutnya: Dana Kelolaan Batavia Prosperindo AM Tembus Rp 34,9 Triliun per Agustus 2025
Menarik Dibaca: 4 Sayuran yang Lebih Sehat Dikonsumsi Mentah, Apa Saja?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News