Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
Upaya yang harus dilakukan untuk memperbaiki makro-ekonomi ini adalah:
Pertama dengan meningkatkan optimisme sektor swasta.
Ia menyoroti Indeks Manajer Pembelian (PMI) yang terus berada di bawah 50. Untuk mendorong optimisme, kebijakan harus diarahkan pada konsumsi kelas menengah yang menjadi penggerak ekonomi.
"Kelas menengah itu saat ini justru berhemat karena ketidakpastian ekonomi," katanya.
Kedua, meningkatkan akses likuiditas ke sektor UMKM dengan mendorong penyalurkan kredit dari perbankan. Ia menyebut UMKM menyumbang 60% PDB, namun faktanya UMKM hanya menerima sekitar 20% dari total kredit perbankan.
Baca Juga: Data Ekonomi Menunjukkan Ekonomi Kita Rapuh
Padahal di negara seperti Korea Selatan, UMKM bisa memperoleh hingga 80% dari total kredit. Eko menyarankan kebijakan yang dapat menaikkan porsi kredit UMKM setidaknya ke angka 30%.
Ketiga, mengoptimalkan program-program peningkatan skill bagi para wirausaha, namun bukan hanya sekedar pelatihan semata, tapi juga harus dikawal oleh Kementerian Ketenagakerjaan melalui inkubasi bisnis, atau pelatihan kewirausahaan.
"Digitalisasi UMKM itu bagus, tapi memang harus Lebih strategis dan terintegrasi dengan kebijakan pemerintah. Jadi misalkan likuiditas UMKM ditingkatkan, di bawahnya ada pelatihan terkait, sehingga nanti diharapkan ada peningkatan produktivitas," ungkap Eko.
Keempat, mengatasi hambatan investasi di sektor industri, terutama terkait logistik, perizinan, dan biaya siluman. Menurut Eko, hambatan ini tidak memerlukan dana besar, tetapi lebih pada penegakan hukum dan pemberantasan praktik premanisme ekonomi.
Sementara itu dari sisi belanja negara, Eko menyarankan beberapa upaya, pertama, efisiensi anggaran.
Menurut Eko, belanja-belanja yang tidak esensial seperti seminar dan perjalanan dinas perlu dikurangi, meskipun ada sektor tertentu seperti perencanaan dan riset yang tetap memerlukan alokasi belanja.
Baca Juga: Krisis Timur Tengah Ancam Gelombang PHK
Kedua, realokasi anggaran ke belanja produktif yang berdampak cepat dan tinggi. Infrastruktur digital menjadi prioritas karena masih banyak desa yang belum memiliki akses internet, padahal digitalisasi ekonomi sangat bergantung pada hal tersebut.
Ketiga, percepatan belanja strategis. Belanja untuk sektor energi, UMKM, dan kesehatan perlu dipercepat agar tidak menumpuk di akhir tahun. "Kalau separuh belanja diserap di triwulan IV, dampaknya ke ekonomi jadi kecil," kata Eko.
Keempat, percepatan belanja daerah. Menurut Eko, banyak dana APBD yang mengendap di bank karena menunggu bunga tinggi. Hal ini harus diubah agar dana tersebut bisa langsung menggerakkan ekonomi lokal melalui belanja pemerintah daerah.
"Kalau delapan strategi tadi dilakukan, saya rasa situasi APBN kita akan jadi lebih baik. Tidak hanya hari ini tapi juga ke depannya. Sehingga dari situ, kita berharap tidak perlu memperlebar defisit, bahkan kalau bisa mengurangi ketahanan utang," tutup Eko.
Baca Juga: Strategi UMKM di Tengah Perang Dagang AS-China ala Konsultan Bisnis Wirson Selo
Di sisi lain, di tengah defisitnya penerimaan negara, pemerintah bisa menggunakan SAL atau SiLPA (akumulasi neto dari sisa lebih pembiayaan anggaran)ketimbang menarik utang baru yang berisiko tinggi.
"Karena penerimaannya loyo, butuh duit, sehingga di top up dari SilPA atau SAL yang akan digunakan, itu sekitar Rp 85 triliun ya untuk menambal pembiayaan tadi, dengan itu diharapkan tidak mengambil dari pasar (SBN atau utang baru)," ungkap Eko.
Menurutnya anggaran tersebut harusnya digunakan untuk belanja produktif.
Selanjutnya: AS Batasi Ekspor Chip AI ke Malaysia dan Thailand, Takut Diselundupkan ke China
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Sarapan saat Diet Tubuh, Cegah Keinginan Ngemil Tengah Malam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News