kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.894.000   -12.000   -0,63%
  • USD/IDR 16.280   21,00   0,13%
  • IDX 6.944   39,53   0,57%
  • KOMPAS100 1.011   9,10   0,91%
  • LQ45 769   6,42   0,84%
  • ISSI 230   2,11   0,93%
  • IDX30 395   2,10   0,54%
  • IDXHIDIV20 455   1,70   0,37%
  • IDX80 113   1,22   1,09%
  • IDXV30 115   1,19   1,05%
  • IDXQ30 128   0,74   0,59%

Waspada Risiko Utang Jatuh Tempo pada Masa Pemerintahan Prabowo, Bisa Gagal Bayar?


Rabu, 09 Juli 2025 / 20:34 WIB
Waspada Risiko Utang Jatuh Tempo pada Masa Pemerintahan Prabowo, Bisa Gagal Bayar?
ILUSTRASI. Pelunasan utang jatuh tempo melalui APBN perlu diwaspadai, di tengah tren penurunan penerimaan perpajakan dan meningkatnya beban bunga utang.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID–JAKARTA. Pelunasan utang jatuh tempo oleh pemerintah melalui APBN perlu diwaspadai, di tengah tren penurunan penerimaan perpajakan dan meningkatnya beban bunga utang. 

Dalam hitungan Kontan, utang jatuh tempo yang harus dibayarkan pemerintah pada periode pemerintahan Prabowo (2025-2029)  mencapai sekitar Rp 4.000 triliun. 

Pada tahun 2025 saja, utang jatuh tempo mencapai Rp 800,33 triliun, dengan  bunga utang sebesar Rp 552,85 triliun. 

Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, Riza Annisa Pujarama mengatakan total utang pemerintah pusat per Juni 2025 sudah mencapai Rp 9.116 triliun, dan jika mengacu pada laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP), jumlahnya bahkan sudah menyentuh Rp 10.269 triliun.

Baca Juga: Utang Jatuh Tempo Pemerintah Membengkak di Tahun Depan

Jumlah tersebut tidak hanya mencakup SBN dan pinjaman, tetapi juga kewajiban lain seperti dana pensiun dan subsidi.

Lebih lanjut, Rizal menyebut total utang publik—yang meliputi pemerintah pusat, daerah, BUMN, dan lembaga keuangan—sudah mencapai Rp17.641 triliun. Angka ini menunjukkan risiko fiskal yang besar, terlebih bila tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan dan efisiensi belanja.

Menurutnya, beban bunga utang kini telah menyentuh 20% dari total belanja pemerintah pusat, melampaui belanja pegawai. Ironisnya, belanja modal yang semestinya digunakan untuk mendongkrak produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, justru tinggal 7%.

“Jika belanja modal menyusut, potensi mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja juga menurun. Ini berdampak pada penerimaan negara yang stagnan,” kata Riza, Rabu (9/7).

Riza juga menyoroti bahwa rasio utang terhadap PDB saat ini telah mencapai 40%, mendekati batas maksimal 60% yang ditetapkan undang-undang. Namun menurutnya, angka 60% tidak bisa dijadikan patokan aman tanpa mempertimbangkan struktur ekonomi domestik yang stagnan.

“Risiko gagal bayar bisa timbul jika tidak dimitigasi. Rollover utang sudah melonjak, refinancing ratio di atas 90%, dan yield SBN 10 tahun sudah mendekati 7%,” ungkapnya. 

Menurut Riza, ketergantungan terhadap pembiayaan dari obligasi membuat APBN sangat rentan terhadap tekanan eksternal seperti depresiasi rupiah, likuiditas global yang mengetat, dan kenaikan suku bunga.

Ia menambahkan, strategi "gali lubang tutup lubang" masih mungkin dilakukan, namun perlu dikritisi dari sisi manajemen liabilitas dan produktivitas belanja. Tanpa diversifikasi sumber pembiayaan yang aman dan terkendali, ruang fiskal akan semakin menyempit, apalagi jika bunga utang terus membengkak dan mengambil porsi lebih dari 15% dari belanja negara.

“Kalau tidak dilakukan reformasi pendapatan dan belanja, maka pemerintah bisa terjebak dalam spiral biaya bunga yang makin besar. Padahal, banyak program bisa dibiayai dari optimalisasi belanja yang sudah ada,” tegasnya.

Ia juga menyebut indikator fiskal saat ini perlu dicermati. Salah satu yang krusial adalah keseimbangan primer yang terus mencatat defisit. 

“Kalau keseimbangan primer defisit terus-menerus, itu tanda kita gali lubang untuk tutup lubang. Belanja untuk bayar utang makin besar,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa target defisit APBN 2025 sebesar 2,53% dari PDB bisa melebar menjadi 2,78% seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan dalam laporannya ke DPR. Hal ini menjadi peringatan bagi pasar bahwa tekanan fiskal semakin nyata.

Lebih jauh Ia menjelaskan bahwa sebagian besar utang pemerintah kini sudah dalam denominasi rupiah, sehingga risiko kurs relatif terkendali. Namun, karena pembiayaan semakin banyak ditarik dari dalam negeri, maka persaingan antara pemerintah dan swasta untuk mengakses pembiayaan bisa menekan kredit ke sektor produktif.

“Kondisi ini menimbulkan crowding out effect. Perbankan lebih memilih beli SBN daripada menyalurkan kredit ke usaha produktif. Kredit tumbuh melambat, padahal sektor swasta juga butuh pembiayaan untuk ekspansi,” ujarnya.

Riza menyimpulkan bahwa dalam lima tahun ke depan, beban bunga utang akan terus naik. Dengan asumsi yield 7%, bunga utang dari SBN saja bisa mencapai Rp 49 triliun hanya dari utang jatuh tempo 700 triliun. Ini belum termasuk pinjaman luar negeri.

“Program prioritas seperti MBG dan koperasi desa sebaiknya tidak ditopang utang, apalagi jika tak memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi jangka pendek. Utang harus diarahkan ke belanja produktif,” katanya.

Ia menegaskan bahwa kunci keberlanjutan fiskal terletak pada reformasi perpajakan, efisiensi belanja, dan penguatan ekonomi domestik. Jika tidak, beban bunga akan terus menekan APBN, dan strategi pembiayaan akan semakin bergantung pada utang yang mahal dan berisiko tinggi.

Baca Juga: Utang Jatuh Tempo Pemerintah Bengkak di 2026, Tertinggi dalam Sejarah

Selanjutnya: India Kuasai 15% Pasar Emas Dunia Senilai US$23 Triliun

Menarik Dibaca: 5 Manfaat Sarapan saat Diet Tubuh, Cegah Keinginan Ngemil Tengah Malam

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×