Reporter: Siti Masitoh | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Realisasi penerimaan pajak tahun ini berpotensi kembali mengalami shortfall, bahkan lebih melebar bila dibandingkan tahun 2024.
Untuk diketahui, shortfall adalah kondisi ketika realisasi lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman memperkirakan, penerimaan pajak tahun ini akan mencatatkan shortfall antara Rp 80 triliun hingga Rp 130 triliun pada 2025. Melebar dari realisasi 2024 yang mencatatkan shortfall Rp 56,5 triliun.
Adapun tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 2.189,3 triliun, naik sebesar 13,9% dibandingkan dengan outlook 2024. Artinya, diramalkan penerimaan tahun ini hanya akan mencapai Rp 2.050 triliun hingga Rp 2.100 triliun dari target.
Baca Juga: Penerimaan Pajak Diramal Kembali Shortfall Pada 2025
Rizal menjelaskan, proyeksi tersebut sejalan dengan tren penerimaan pajak pada kuartal I 2025 yang mengalami kontraksi. Realisasi penerimaan pajak hingga Maret 2025 mencapai Rp 322,6 triliun atau terkontraksi 18,1% secara tahunan atau year on year (yoy).
“Jika melihat tren penerimaan hingga kuartal pertama 2025, serta mempertimbangkan kondisi makroekonomi dan outlook harga komoditas, proyeksi penerimaan pajak tahun ini diperkirakan akan berada di kisaran Rp2.050–Rp 2.100 triliun. Artinya, potensi shortfall berkisar antara Rp80 hingga Rp130 triliun,” tutur Rizal kepada Kontan, Senin (12/5).
Menurutnya, penyebab target penerimaan pajak akan meleset disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya turunnya harga komoditas unggulan (seperti batu bara dan crude palm oil (CPO) yang sebelumnya menjadi kontributor besar penerimaan, serta pelemahan aktivitas ekspor akibat perlambatan ekonomi global.
Selain itu, basis penerimaan yang tinggi pada 2022 dan 2023 membuat pertumbuhan lebih sulit dicapai tanpa ekspansi basis pajak yang signifikan. Dengan tantangan-tantangan tersebut lanjutnya, pemerintah harus bekerja ekstra keras agar gap antara target dan realisasi tidak semakin lebar.
Lebih lanjut, Rizal membeberkan, tantangan utama penerimaan pajak tahun ini datang baik dari sisi eksternal maupun internal.
Dari sisi eksternal, perlambatan ekonomi global dan penurunan harga komoditas menekan basis pajak dari sektor ekspor dan pertambangan. Dari sisi internal, konsumsi masyarakat masih belum sepenuhnya pulih, dan investasi cenderung wait and see karena transisi pemerintahan pasca pemilu.
Selain itu, efektivitas implementasi kebijakan pajak seperti integrasi NIK-NPWP dan pengawasan pajak digital masih menghadapi kendala teknis dan administratif.
“Tanpa perbaikan signifikan pada kepatuhan dan ekstensifikasi, capaian pajak bisa sulit maksimal,” tandasnya.
Baca Juga: Duh, Lonjakan PHK Berpotensi Menggerus Kepatuhan Formal Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengungkapkan, pemerintah masih mempunyai delapan bulan tersisa hingga Desember 2025 untuk menutupi terkontraksinya penerimaan pajak pada kuartal I 2025 ini.
“Pemerintah harus optimis untuk terus menggali potensi penerimaan pajak,” kata Prianto.
Ia membeberkan, pemerintah bisa mendorong penerimaan pajak dengan meningkatkan intensitas penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan pemeriksaan pajak.
Menurut Prianto, tantangan yang dihadapi petugas pajak adalah pembuktian transaksi karena siapapun wajib pajaknya pasti ingin efisiensi biaya pajak.
Selanjutnya: Alat Berat Listrik Bisa Ungkit Penjualan Hingga 100%, VKTR Ungkap Permintaan Forklift
Menarik Dibaca: 6 Ciri-Ciri Moisturizer Tidak Cocok, Jangan Dipakai Lagi Ya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News