Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Dunia usaha harus mulai bersiap menghadapi kebijakan baru pemerintah soal insentif pajak.
Pasalnya, belanja perpajakan pada tahun depan diproyeksi hanya Rp 563,6 triliun atau tumbuh 6,3%, jauh melambat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai tren perlambatan belanja perpajakan sudah berlangsung sejak enam tahun terakhir, kecuali pada 2024 yang melonjak hingga 32,5%.
Pada tahun 2021, belanja perpajakan tumbuh 25,7%. Kemudian, di tahun berikutnya turun menjadi hanya 12,1% dan selanjutnya melambat lagi dengan hanya tumbuh 9,6% di tahun 2023.
"Saya melihat hal ini bisa jadi ini karena ada pertimbangan karena ekonomi Indonesia sudah mulai stabil tekanan besar yang dialami di masa pandemi," ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Kamis (21/8/2025).
Baca Juga: Lebih dari Separuh, Insentif Konsumsi Kuasai Belanja Perpajakan di 2026
Selain itu, menurutnya, melambatnya pertumbuhan belanja perpajakan di 2026 juga berkaitan dengan penerapan pajak minimun global yang turut berdampak pada kebijakan insentif pajak.
Pasalnya aturan pajak minimum global yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 membuat Indonesia tidak leluasa lagi memberikan insentif pajak seperti tax holiday atau tax allowance dikarenakan akan berdampak pada tarif efektif pajak yang dikenakan.
"Hal itu membuat pemerintah akan mengubah mekanisme pemberian insentif dari insentif pajak menjadi insentif non pajak," katanya.
Tidak hanya karena itu, pemerintah juga dihadapkan pada tantangan untuk mengejar penerimaan pajak yang cukup tinggi untuk tahun depan. Dalam RAPBN 2026, pemerintah mematok target penerimaan pajak harus tumbuh 13,5%.
Oleh karena itu, kondisi tersebut membuat pemerintah memang harus sangat selektif dalam memberikan insentif.
Ia bilang, hanya sektor usaha yang memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi saja yang layak untuk mendapatkan insentif.
"Saya kira industri padat karya seperti manufaktur masih bisa mendapatkan insentif pajak dengan porsi yang lebih besar dari sektor lainnya," imbuh Wahyu.
Kendati begitu, ia menilai sudah seharusnya pemerintah memberikan fasilitas bagi dunia usaha di luar pajak. Misalnya saja berupa kemudahan perizinan, memberikan kepastian hukum dan perbaikan administrasi perpajakan melalui Coretax.
Baca Juga: Ekonomi Diprediksi Membaik, Belanja Perpajakan Tahun 2026 Mulai Direm
Senada, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman mengatakan, perlambatan pertumbuhan belanja perpajakan pada tahun depan menunjukkan pemerintah mulai mengerem pemberian insentif pajak.
Artinya ada beberapa insentif yang tidak diperpanjang pemerintah pada tahun 2026. "Ini menandakan optimisme pemerintah di tahun 2026," kata Raden.
Raden menilai insentif berupa tax holiday dan tax allowance memang sudah tidak relevan lagi setelah Indonesia mengadopsi Pilar II pajak minimum global dengan tarif efektif minimum 15%.
Selanjutnya: Cek Rekomendasi Saham dan Proyeksi IHSG untuk Perdagangan Senin (25/8/2025)
Menarik Dibaca: Daftar Menu untuk Diet Tanpa Nasi agar Berat Badan Turun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News