kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indef: Pemerintah mesti perjelas beberapa poin dalam PP e-commerce


Senin, 09 Desember 2019 / 20:27 WIB
Indef: Pemerintah mesti perjelas beberapa poin dalam PP e-commerce
ILUSTRASI. Ilustrasi belanja online. KONTAN/Muradi/2017/12/05


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai ada beberapa hal yang tak jelas dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019. 

Beleid yang mengatur soal Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) tersebut dianggap belum cukup komprehensif dalam mengatur beberapa hal penting terkait akitivitas usaha e-commerce. 

Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda menilai, setidaknya ada empat hal yang mesti diperhatikan dan diperjelas pemerintah dalam pengaturan usaha e-commerce. Di antaranya, model bisnis dalam PMSE, klasifikasi pelaku usaha di PMSE, pelaku usaha temporer, dan potensi perpindahan dari e-commerce ke media sosial.

Setiap platform digital, lanjut Huda, mempunyai model yang berbeda-beda mulai dari model Business to Costumer (B2C) dan Business to Business (B2B) yang menurutnya masih dapat diatur melalui PP ini, hingga model Costumer to Customer (C2C) yang sulit untuk diatur. Misalnya, forum jual beli yang biasanya menggunakan Cash on Delivery (COD) untuk bertransaksi.

Baca Juga: Indef mengkritisi sejumlah ketentuan dalam PP e-commerce

Begitu juga dengan klasifikasi pelaku usaha yang menurut Huda terbagi menjadi empat kategori umum yaitu official store, store besar, store pengecer, dan pelaku usaha individu. 

Untuk tiga jenis pelaku pertama, Huda menilai masih mudah untuk membentuk badan usaha. Toh, official store saat ini sudah berbadan usaha, tetapi tidak dengan pelaku usaha individu.

“Bagaimana dengan pelaku usaha yang masih berstatus pelajar ataupun emak-emak yang menjadikan bisnis di e-commerce sebagai kegiatan sampingan? Apakah memungkinkan untuk berbadan usaha? Selain itu warung kelontong juga menjadi pertanyaan apakah memang harus berbadan usaha mengingat scope usahanya terlalu kecil,” ujar Huda, Senin (9/12). 

Huda juga menilai, pemerintah mesti mempertimbangkan keberadaan pelaku usaha temporer dalam PMSE, yaitu mereka yang hanya sesekali menjajakan lapaknya di e-commerce. Kewajiban berbadan hukum dinilai pasti memberatkan pelaku usaha temporer. 

Selain itu, pemerintah juga mesti mengantisipasi potensi perpindahan pelapak dari e-commerce ke media sosial yang memang telah memiliki fitur-fitur jual beli dalam platformnya. 

Baca Juga: Pelaku usaha minta kejelasan aturan turunan PP 80/2019

Apalagi, Huda mengatakan Survei PayPal tahun 2019 mengungkap 80% transaksi di e-commerce dilanjutkan melalui platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp.

Alasannya adalah dapat menjangkau konsumen yang lebih luas, lebih mudah membangun bisnis, dan bisa melalui jaringan teman dan keluarga.

“Bisnis e-commerce merupakan bisnis dengan tiga pelaku yaitu platform, pembeli, dan penjual. Saya harapkan bukan hanya dari sisi konsumen saja yang diperhatikan oleh pemerintah namun dari sisi penjual juga patut untuk diperhatikan,” tutur Huda. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×