Sumber: TribunNews.co | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pernyataan Presiden SBY terkait surat balasan PM Tony Abbott untuk menyelesaikan masalah penyadapan merupakan ending yang hambar. Demikian disampaikan Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional FHUI.
"Presiden tidak memperlihatkan ketegasan Indonesia yang tidak senang dengan praktik kotor penyadapan," tulis Hikmahanto dalam rilisnya seperti dikutip dari Tribunnews.com, Rabu (27/11).
Padahal ketegasan ini, kata Hikmahanto, diperlukan tidak hanya untuk kepentingan hubungan dengan Australia tetapi terhadap negara-negara yang secara aktif atau membantu dilakukannya penyadapan terhadap Indonesia, seperti Singapura dan Korea Selatan.
"Presiden lebih memperhatikan pandangan subyektif dirinya sendiri dan jajarannya dalam merespon surat balasan PM Abbott," tambah pria kelahiran 23 November 1965.
Presiden telah mengabaikan pandangan publik Indonesia. Padahal kemarahan terhadap Australia tidak seharusnya dimonopoli oleh Presiden.
Presiden dalam pernyataannya juga tidak tegas karena masih menggantungkan pemulihan hubungan dengan Australia dengan sejumlah syarat, seperti pembicaraan Menlu atau Utusan Khusus dengan mitranya, pembuatan protokol dan lain-lain.
"Padahal bila Presiden mau, Presiden bisa lakukan tindakan tegas tanpa syarat dan fase berikutnya adalah masuk langsung ke fase penyembuhan hubungan (healing process)," ujar pria yang pernah menjabat sebagai Staf Ahli Menko Perekonomian Bidang Hukum dan Kelembagaan.
Namun, katanya lagi, keputusan telah dibuat oleh Presiden dan tidak ada pilihan lain bagi publik untuk mematuhi dan tidak bertindak sendiri-sendiri, apalagi bertindak anarkis. Publik harus banyak bersabar dan mengalah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News