kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.321.000   -16.000   -0,68%
  • USD/IDR 16.675   65,00   0,39%
  • IDX 8.258   105,78   1,30%
  • KOMPAS100 1.147   17,39   1,54%
  • LQ45 823   17,14   2,13%
  • ISSI 292   3,96   1,37%
  • IDX30 432   9,50   2,25%
  • IDXHIDIV20 491   9,72   2,02%
  • IDX80 128   2,49   1,99%
  • IDXV30 137   2,66   1,98%
  • IDXQ30 137   2,92   2,17%

Hadapi Shortfall Penerimaan, Dirjen Pajak Sisir Wajib Pajak Potensial


Kamis, 23 Oktober 2025 / 09:39 WIB
Hadapi Shortfall Penerimaan, Dirjen Pajak Sisir Wajib Pajak Potensial
ILUSTRASI. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto telah menyiapkan langkah-langkah untuk menghadapi potensi shortfall penerimaan pajak tahun ini.KONTAN/Panji Indra


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto telah menyiapkan langkah-langkah untuk menghadapi potensi shortfall penerimaan pajak tahun ini.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, pihaknya kini mengubah strategi pengawasan dan pengumpulan pajak dengan fokus pada wajib pajak yang memiliki potensi kontribusi besar terhadap penerimaan negara.

Ia mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menerapkan pendekatan micro management dalam proses penagihan dan pengawasan.

Strategi ini dilakukan dengan pemantauan intensif terhadap data wajib pajak potensial di seluruh kantor wilayah (kanwil).

Baca Juga: Target SPT Turun, Sinyal Awal Pelemahan Penerimaan Pajak pada 2026

"Upayanya kita sudah mulai micro management untuk collection. Jadi kita pantau betul semua wajib pajak, kita list dari semua kanwil, potensi yang paling besar siapa, kemudian kira-kira kepatuhannya seperti apa," ujar Bimo kepada awak media di Kemenko Perekonomian, Rabu (22/10/2025).

Ia menambahkan bahwa DJP kini berfokus untuk menutup kesenjangan kepatuhan pajak (compliance gap), terutama dari kelompok wajib pajak besar yang memiliki kontribusi signifikan terhadap penerimaan.

"Kemudian gap kepatuannya kita endorse untuk bisa jadi optimum," katanya.

Untuk diketahui, kinerja penerimaan pajak nasional memang terus menunjukkan pelemahan dalam beberapa bulan terakhir.

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai tren ini mengkhawatirkan dan berpotensi memperlebar defisit anggaran pemerintah.

Menurut Fajry, pemulihan kinerja pajak sejak awal tahun tidak sekuat tahun lalu.

Baca Juga: Pemerintah Genjot Penerimaan Pajak Kuartal IV dengan Coretax dan Pengawasan Ketat

"Awalnya outlook kita proyeksikan masih memungkinkan sampai 94% dari target, namun dengan pemulihan yang tidak sekuat dari tahun lalu outlook penerimaan terus menurun. Dari 94% lalu ke 90% dan kini 85%-88%," Ujar Fajry.

Namun, jika kinerja dalam beberapa bulan terakhir berlanjut hingga akhir tahun, realisasi penerimaan pajak diperkirakan hanya mencapai 82,22% dari target.

"Jika kinerja penerimaan dalam beberapa bulan ke depan sama dengan beberapa bulan terakhir, realisasi penerimaan akan dalam kisaran 82,22%," katanya.

Fajry menjelaskan, apabila realisasi hanya mencapai 82,22%, maka defisit penerimaan pajak akan melebar tajam. Semula, dengan outlook 94%, defisit diperkirakan sekitar Rp 131,36 triliun. Namun kini, dengan proyeksi 82,22%, defisit tersebut bisa membengkak menjadi Rp 389,26 triliun.

Situasi ini juga akan berdampak pada APBN 2026. Jika realisasi pajak 2025 hanya 82,22%, maka untuk mencapai target APBN 2026, kinerja penerimaan pajak tahun depan harus meningkat 30,98%, atau setara tambahan Rp 557,66 triliun.

"Artinya, APBN 2026 semakin tidak rasional, defisit anggaran akan membengkak. Saya kira Pemerintah perlu antisipasi instabilitas makro ekonomi yang akan terjadi pada tahun depan," terang Fajry.

Lebih lanjut, Fajry mengingatkan bahwa kondisi ini dapat menyeret pertumbuhan penerimaan pajak ke zona negatif. 

Berdasarkan data historis, realisasi di kisaran 82% pernah terjadi pada 2015 dan 2016, dengan pertumbuhan masing-masing 7,61% dan 4,32%.

Namun, bila tahun ini realisasi benar-benar 82,22%, maka pertumbuhan penerimaan pajak akan terkontraksi 6,85%, lebih dalam dari penurunan 4,55% saat krisis keuangan global 2008–2009.

Baca Juga: Hindari Pelebaran Shortfall, Ini Strategi Purbaya Kejar Penerimaan Pajak di Sisa 2025

Fajry juga menilai bahwa dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 4,7%–4,9%, seharusnya penerimaan pajak tetap bisa tumbuh positif. 

Ia menyebut tekanan restitusi pajak tahun ini seharusnya lebih ringan dibandingkan tahun 2024, karena dampak penurunan harga komoditas sudah mulai mereda.

"Jika penerimaan pajak tahun 2025 ini pada akhirnya tumbuh negatif, apalagi sampai kisaran -6,85%, ada apa? Sebuah anomali yang tidak normal menurut saya," pungkasnya.

Selanjutnya: Bursa Asia Memerah Kamis (23/10) Pagi, Cemas Sentimen Sanksi Software AS ke China

Menarik Dibaca: 4 Kombinasi Jus yang Ampuh Mengurangi Peradangan dan Menyehatkan Pencernaan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×