kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Fadli Zon: Kebijakan Jokowi soal tenaga kerja asing membahayakan


Kamis, 19 April 2018 / 12:17 WIB
Fadli Zon: Kebijakan Jokowi soal tenaga kerja asing membahayakan
ILUSTRASI. Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon berkicau melalui akun media sosial twiiter, Kamis (19/4). Kali ini, Fadli Zon menyindir kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal tenaga kerja asing (TKA).

Wakil Ketua Umum Gerindra itu menyanyangkan adanya relaksasi aturan TKA yang tidak sejalan dengan janji kampanye Jokowi. Menurutnya kebijakan ini sangat bahaya.

Berikut cuitan lengkap Fadli Zon;

Di tengah trend integrasi ekonomi dan kawasan, pemerintah seharusnya memberi perlindungan terhadap kepentingan tenaga kerja lokal dari gempuran tenaga kerja asing, bukan malah sebaliknya.

Sy menyesalkan adanya relaksasi aturan tenaga kerja asing yg dilakukan oleh pemerintah.

Menurutnya, Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing tak berpihak pd kepentingan tenaga kerja lokal.

Kebijakan ini menurut saya salah arah. Waktu kampanye dulu Pak Joko Widodo berjanji menciptakan 10 juta lapangan kerja bagi anak-anak bangsa.


Namun, tiga tahun berkuasa pemerintah malah terus-menerus melakukan relaksasi aturan ketenagakerjaan bagi orang asing.

Melalui integrasi ekonomi ASEAN, serta berbagai ratifikasi kerjasama internasional lainnya, tanpa ada pelonggaran aturan sekalipun sebenarnya arus tenaga kerja asing sudah merupakan sebuah keniscayaan.

Nah, pada situasi itu yg sebenarnya kita butuhkan justru adlh bagaimana melindungi tenaga kerja kita sendiri.

Kita selama ini sudah ugal-ugalan dlm membuka pasar domestik kita bagi produk-produk luar, jgn kini pasar tenaga kerja kita jg dibuka untuk orang asing tanpa ada perlindungan berarti.

Apalagi, dibandingkan negara ASEAN lain, kita saat ini memang paling tdk protektif terhadap kepentingan nasional.

Dalam bidang perdagangan, misalnya, menurut data INDEF tahun 2017, kita hanya memiliki hambatan nontarif sebanyak 272 poin.

Padahal, Malaysia dan Thailand saja, masing-masing punya hambatan nontarif sebanyak 313 poin dan 990 poin.

Kecilnya jumlah hambatan nontarif di Indonesia menunjukkan buruknya komitmen kita dlm melindungi industri dan pasar dalam negeri.

Pemerintah seharusnya serius melindungi pasar dan industri dalam negeri, karena itu mewakili kepentingan nasional kita.

Celakanya, sesudah pasar kita diberikan secara murah pd orang lain, kini bursa kerja di tanah air juga hendak diobral pd orang asing.

Bahaya sekali keputusan pemerintah ini.

Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Kemnakertrans), per Maret 2018 ada sekitar 126 ribu tenaga kerja asing yg ada di Indonesia.

Bayangkan, angka ini melonjak 69,85 persen dibandingkan angka jumlah tenaga kerja asing pd Desember 2016, yang masih 74.813 orang.

Sebelum ada Perpres No. 20/2018 saja lonjakannya sdh besar, apalagi sesudah ada Perpres ini.

Masalahnya, itu baru data tenaga kerja legal. Kita tak tahu data tenaga kerja ilegal yang masuk ke Indonesia.

Yang jelas, sepanjang tahun 2017 kita sama-sama menyimak kasusnya ada ribuan.

Sy yakin jumlah riilnya jauh lebih besar ketimbang yg terungkap di media.

Di Sulawesi Tenggara, misalnya, di sebuah perusahaan nikel tahun lalu ditemukan dari 742 tenaga kerja asing asal Cina yg bekerja di sana, 210 di antaranya tenaga kerja ilegal.

Artinya, hampir 30 persennya tenaga kerja ilegal.

Menurut data resmi, tenaga kerja asing legal dan ilegal mayoritas memang berasal dari Cina.

Sy menyebut terbitnya Perpres No. 20/2018 ini berbahaya krn sebelum adanya beleid baru ini saja kita sudah kewalahan mengawasi tenaga kerja asing yg masuk, apalagi sesudah kerannya kini dibuka lebar-lebar.

Sebagai catatan, saat ini jumlah pengawas kita hanya 2.294 orang.

Bayangkan, mereka harus mengawasi sekitar 216.547 perusahaan dan ratusan ribu tenaga kerja asing. Mana bisa?

Dengan angka itu, seorang petugas harus mengawasi sekitar 94 perusahaan legal.

Menurut sy itu tdk mungkin dilakukan.

Apalagi mereka harus bisa mengawasi tenaga kerja asing juga.

Idealnya, seorang petugas hanya mengawasi 5 perusahaan saja.

Sehingga, kita setidaknya butuh sekitar 20 hingga 30 ribuan pengawas.

Pengawasan kita terhadap tenaga kerja asing juga semakin lemah karena kini pengawasan ketenagakerjaan dipindahkan ke level provinsi, bukan lagi di kabupaten/kota.

Dulu saja, waktu pengawasannya masih ada di kabupaten/kota, ada sekitar 150 kabupaten dan kota yg tak memiliki pengawas.

Beleid ketenagakerjaan yg baru ini benar-benar tak punya kontrol.

Sy menilai pemerintah tdk peka pd kepentingan tenaga kerja kita.

Di tengah kenaikan jumlah kasus PHK di tanah air dr sebelumnya 1.599 kasus pd 2016 mnjd 2.345 kasus pada 2017, pemerintah malah memberi keleluasaan aturan ketenagakerjaan bagi orang asing.

Ini bukan kali pertama pemerintahan @jokowi menerbitkan beleid yg tak berpihak pd kepentingan buruh lokal.

Pada tahun 2015, pemerintah jg mengubah Permenakertrans No. 12/2013 yg isinya mengatur ttg syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing.

Ketentuan ini telah dihapus oleh pemerintah melalui Permenakertrans No. 16/2015. Pekerja asing kini tak lagi diwajibkan memiliki kemampuan berbahasa Indonesia.

Lha, para pekerja kita saja saat hendak bekerja ke Timur Tengah, Hongkong, Taiwan, atau Jepang mereka dituntut untuk menguasai bahasa setempat.

kok ini pemerintah kita malah bukan hanya tak mewajibkan tenaga kerja asing untuk berbahasa Indonesia, kita jg memberi fasilitas bebas visa ke mereka.

Ini kan tdk adil.

Dan ketidakadilan itu dibuat oleh pemerintah kita sendiri.

Selain tak sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan, perubahan itu juga tak sesuai dgn UU No. 24/2009 ttg Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan di mana disebutkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk berbahasa Indonesia.

Ingat, bahasa Indonesia bukan hanya wajib digunakan dlm komunikasi resmi di lingkungan pemerintahan, tapi jg di semua lingkungan kerja swasta yg ada di Indonesia.

Sy kira kebijakan-kebijakan tadi tak boleh dibiarkan tanpa koreksi. Itu semua harus segera dikoreksi.

DPR sebenarnya pernah membentuk Panja Pengawas Tenaga Kerja Asing.

Tapi rekomendasinya diabaikan.

Jadi, bila perlu nanti kita usulkan untuk dibentuk Pansus mengenai tenaga kerja asing, agar lebih punya taring. Bahaya sekali jika pemerintahan ini berjalan tanpa kontrol memadai." tulis Fadli Zon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×