Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik (BPS) M. Habibullah mengatakan, saat ini masih terdapat disparitas tinggi terkait persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan.
Pada September 2019 lalu, BPS mencatat angka kemiskinan di daerah pedesaan sebesar 12,60% sedangkan di daerah perkotaan sebesar 6,56%. Terkait dengan hal tersebut, Habibullah mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Baca Juga: BPS: Metode penghitungan data kemiskinan BPS dan Kemensos berbeda
Pertama, perubahan rata-rata upah buruh per hari. Berdasarkan data BPS, tercatat ada kenaikan upah buruh di bulan September 2019 sebesar 1,02% apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya di bulan Maret 2019.
"Jadi perubahan rata-rata upah buruh per hari atau kenaikan upah ini berkontribusi pada penurunan kemiskinan di bulan September dari 9,41% menjadi 9,22%," ujar Habibullah di Gedung DPR RI, Kamis (6/2).
Kedua, nilai tukar petani (NTP) yang meningkat. Saat ini, NTP secara nasional berada di angka 104,16 atau melebihi 100. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa petani mengalami surplus.
Baca Juga: Indonesia jadi lahan investasi yang menjanjikan, ini faktor pendukungnya
Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya, sehingga pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.
"Ketiga, rendahnya angka inflasi secara umum. Tingkat inflasi menyangkut daya beli masyarakat karena inflasinya tercatat 1,84% ketika periode Maret dan September 2019 lalu," papar Habibullah.
Keempat, jika melihat dari segi komposisi, maka komposisi yang berperan besar dalam mempengaruhi penurunan angka kemiskinan adalah adanya penurunan harga eceran tertinggi (HET) beberapa komoditas pokok, seperti penurunan harga beras, telur, ayam dan sebagainya.
Baca Juga: Sri Mulyani bilang bapak-bapak ciptakan ketidakpastian global, kenapa?
Kelima, rata-rata pengeluaran per kapita pada desil satu meningkat. Keenam, meningkatnya kuota penerima pelaksana program bantuan pangan non-tunai (BPNT) apabila dibandingkan dengan triwulan pertama di tahun 2019.
Lebih lanjut, apabila melihat dari pendekatan yang digunakan oleh BPS, maka kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan seseorang dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan dan bukan makanan.
Ketidakmampuan tersebut kemudian diukur menggunakan dua komposisi, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan.
Garis kemiskinan makanan, adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang setara dengan 2100 kkal per kapita per hari. Jadi, apabila sebuah keluarga mengonsumsi lebih dari 2100kkal perkapita perhari, maka pada posisi garis kemiskinan makanan, anggota keluarga tersebut tidak dianggap miskin.
Sementara itu, garis kemiskinan bukan makanan adalah nilai minimum pengeluaran untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan makanan lainnya.
Secara khusus, metode ini sendiri telah digunakan oleh BPS sejak tahun 1988, untuk menjaga hasil penghitungan yang konsisten dari waktu ke waktu.
"Jika dilihat komposisi antara makanan dan non-makanan, yang paling mendominasi penyebab naik turunnya tingkat kemiskinan adalah dari garis kemiskinan makanan," kata Habibullah.
Secara spesifik, persentasenya adalah 73,75% merupakan kontribusi dari garis kemiskinan makanan, sedangkan 26,25% sisanya merupakan kontribusi dari garis kemiskinan bukan makanan.
Sebagai informasi, sebelumnya BPS telah mencatat persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2019 sebesar 9,22% atau turun sebanyak 0,44% apabila dibandingkan dengan September 2018.
Jika melihat dari segi jumlah, maka penduduk miskin di Indonesia pada September 2019 adalah sebanyak 24,79 juta orang dan pada September 2018 sebanyak 25,67 juta orang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News