Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kebijakan fiskal agresif Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, mulai menuai sorotan pasar. Purbaya menyebut anggaran RAPBN 2026 berpeluang dinaikkan dengan defisit anggaran yang bisa ditekan mendekati batas 3% sesuai Undang-Undang Keuangan Negara.
Asal tahu saja, langkah tersebut perlu untuk mendorong ekspansi ekonomi dalam negeri.
Namun, sejumlah lembaga pemeringkat seperti Fitch Ratings dan investor justru menilai sikap ekspansif tersebut berisiko terhadap disiplin fiskal Indonesia.
Kekhawatiran pasar sudah terlihat, di mana yield obligasi pemerintah acuan tenor 10 tahun naik ke 6,47% pada 9 September. Premi risiko investasi atau Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun juga naik menjadi 72,9, sementara tenor 10 tahun di level 117,3.
Peningkatan kedua indikator ini menandakan persepsi risiko investor terhadap Indonesia memburuk. Efeknya, beban bunga utang pemerintah berpotensi meningkat jika investor terus meminta yield yang lebih tinggi.
Baca Juga: Kebijakan Fiskal Agresif Menkeu Purbaya, Risiko Jangka Pendek Tetap Mengintai
Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menilai, secara aturan undang-undang, defisit hingga 3% masih sesuai koridor. Namun, yang lebih krusial adalah untuk apa tambahan defisit itu digunakan.
“Selama masih di bawah 3% sebenarnya masih oke dan tidak melanggar undang-undang. Asalkan dijelaskan bahwa defisit yang kita naikkan itu untuk apa, untuk kegiatan produktif atau lebih ke arah konsumtif,” kata David kepada Kontan, Minggu (14/9/2025).
Ia menegaskan, tambahan belanja harus diarahkan ke sektor produktif yang mampu menghasilkan efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian. Jika tidak, rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) bisa memburuk karena utang bertambah tanpa diikuti peningkatan pertumbuhan ekonomi.
“Kalau itu dilakukan, saya pikir mungkin investor bisa paham. Sehingga mereka juga yakin dengan kredibilitas kebijakan kita,” imbuhnya.
David juga menekankan pentingnya diversifikasi sumber pembiayaan agar risiko pasar obligasi tidak terlalu besar.
“Selama ini kan juga kita coba diversifikasi dari sisi mata uang di pasar obligasi, dengan penerbitan Dim sum bond, Kangaroo bond, selain Dollar, Yen, dan Euro. Itu bisa mengurangi risiko,” jelas David.
Baca Juga: Ekonom Nilai Langkah Agresif Menkeu Purbaya Bisa Dorong Ekonomi Tumbuh 5%
Pemerintah, menurutnya, juga bisa mencari alternatif selain menerbitkan Surat Utang atau Surat Berharga Negara (SBN), seperti pinjaman bilateral, multilateral, atau melalui sovereign wealth fund.
Meskipun pinjaman bilateral dan multilateral memang memiliki syarat penggunaan yang lebih ketat, namun bisa menjadi alternatif jika biaya penerbitan SBN di pasar terlalu tinggi.
"Kalau pinjaman bilateral, multilateral biasanya lebih ketat aja penggunaannya untuk apa, alokasinya mereka juga lihat. Kalau SBN kan kita terserah kita mau pakai buat apa. Tapi gitu tetap kalau misalnya ada risiko ke depan, ya mereka minta yield lebih tinggi biasanya," jelas David.
Meski begitu David menyebut dengan kondisi global saat ini, The Fed pada September diperkirakan mulai melonggarkan suku bunga acuannya, sehingga likuiditas lebih longgar kedepannya. Hal ini disinyalir menjadi potensi masuknya arus modal asing di emerging market termasuk Indoensia yang yield tenor 10 tahun sangat atraktif di atas 6%.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Respons Soal Desakan Penyesuaian Cukai Rokok
Ke depan, David menyebut pasar akan mencermati konsistensi kebijakan pemerintah dalam menjaga disiplin fiskal, termasuk transparansi penggunaan anggaran. Ia mengingatkan, defisit sebaiknya diarahkan pada proyek dan sektor produktif yang mendukung pertumbuhan jangka Panjang.
“Karena kita kan bukan hanya ingin pertumbuhan tinggi selama 1 sampai 2 tahun saja, tapi pertumbuhan tinggi yang sustain. Jadi tetap harus prudent,” tegas David.
Dengan demikian, menurutnya kebijakan ekspansif Menkeu Purbaya memang memberi ruang tambahan bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, jika tidak dibarengi alokasi yang produktif dan mitigasi risiko, pasar akan terus menilai agresivitas fiskal ini sebagai ancaman bagi stabilitas keuangan negara.
"Sejauh ini sih masih belum ada (risiko efek CDS dan yield). Nanti kita lihat bagaimana reaksi pasar (kedepan). Asalkan tadi dijelaskan bahwa memang kita mau dorong nih defisitnya untuk apa, itu yang paling penting. Untuk kegiatan yang produktif dan memberikan multiplier tinggi atau lebih ke arah konsumtif. Nah itu jadi pertanyaan pasti oleh investor," tandasnya.
Selanjutnya: BBNI dan UNVR Teratas, Cermati Saham Net Sell Terbesar Asing Saat IHG Menguat
Menarik Dibaca: Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (16/9), Provinsi Ini Siaga Hujan Sangat Lebat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News