kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45905,81   -2,73   -0.30%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dugaan operasi senyap dan suara bulat komisi III saat Firli terpilih jadi ketua KPK


Rabu, 09 Juni 2021 / 13:17 WIB
Dugaan operasi senyap dan suara bulat komisi III saat Firli terpilih jadi ketua KPK
ILUSTRASI. Dugaan operasi senyap dan suara bulat komisi III saat Firli terpilih jadi ketua KPK


Sumber: Kompas.com | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sosok Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri telah menuai kontroversi sejak sebelum menjabat lembaga antirasuah itu. Firli pernah menjadi sorotan atas dugaan pelanggaran etik, sebelum dia terpilih menjadi salah satu calon pimpinan KPK. 

Namun, nyatanya dia tetap melaju mulus memimpin KPK. Ini terlihat saat Firli Bahuri terpilih secara bulat sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 oleh Komisi III DPR pada Jumat (13/9/2019). 

Firli mendapat suara terbanyak dengan 56 suara. Ia dipilih oleh seluruh anggota Komisi III DPR yang mengikuti voting. 

"Berdasarkan diskusi, musyawarah dari seluruh perwakilan fraksi yang hadir menyepakati untuk menjabat Ketua KPK masa bakti 2019-2023 sebagai ketua adalah Saudara Firli Bahuri," ujar Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin saat memimpin voting dalam rapat pleno pemilihan ketua KPK periode 2019-2023 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. 

Baca Juga: Kalau jadi presiden Mahfud MD akan jadikan Novel Baswedan jadi Jaksa Agung

Terpilihnya Firli sebagai ketua KPK menimbulkan banyak kecurigaan dari berbagai pihak, terutama akan adanya operasi senyap. Apalagi, saat itu seluruh anggota Komisi III yang berjumlah 56 orang memberikan suaranya untuk Firli. 

Muncul dugaan adanya operasi senyap atau kesepakatan sebelum voting dilakukan di antara anggota Komisi III untuk memilih Firli Bahuri. Dugaan itu pun kemudian langsung dibantah oleh politisi PDI Perjuangan, Herman Hery. 

"Itu pernyataan media yang sangat tendensius," kata Herman. 

Menurut dia, anggota Komisi III berhak memilih siapa pun capim KPK yang mereka inginkan. Demokrasi, menurut Herman, melindungi hak itu. "Kalau sesuai yang disampaikan dalam fit and proper test, ya dipilih," kata dia. 

Baca Juga: Penjelasan KPK perihal ketidakhadiran Firli Bahuri dalam debat terbuka polemik TWK

Pelanggaran etik berat 

Sebelum Firli terpilih sebagai ketua lembaga antirasuah itu, pada 11/9/2019, KPK menggelar konferensi pers yang menyatakan bahwa Firli melakukan pelanggaran berat saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. 

Bahkan, KPK juga sudah menyurati DPR soal rekam jejak dan status Firli itu. Sayangnya, surat itu seolah dimentahkan oleh DPR.

Konferensi pers yang dipimpin oleh penasihat KPK, Muhammad Tsani Annafari, menyatakan keputusan yang menyatakan Firli melakukan pelanggaran berat berdasarkan kesimpulan musyawarah Dewan Pertimbangan Pegawai KPK. 

"Musyawarah itu perlu kami sampaikan hasilnya adalah kami dengan suara bulat menyepakati dipenuhi cukup bukti ada pelanggaran berat," kata Tsani dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (11/9/2019). 

Tsani mengatakan, pelanggaran etik berat yang dilakukan Firli itu berdasarkan pada tiga peristiwa. Pertama, pertemuan Irjen Firli dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi pada 12 dan 13 Mei 2019. 

Padahal, saat itu KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont yang melibatkan Pemerintah Provinsi NTB. Firli tercatat pernah menjadi Kapolda NTB pada 3 Februari 2017 hingga 8 April 2018, sebelum menjadi Deputi Penindakan KPK. 

Baca Juga: Tak ada program prioritas, usulan kenaikan anggaran KPK oleh Firli dipertanyakan

Firli sudah pernah mengakui pertemuan itu. Namun, ia membantah adanya pembicaraan terkait penanganan kasus. Kedua, Firli melanggar etik saat menjemput langsung seorang saksi yang hendak diperiksa di lobi KPK Pada 8 Agustus 2018. 

Ketiga, Firli pernah bertemu petinggi partai politik di sebuah hotel di Jakarta pada 1 November 2018. Pertemuan ini pun diakui oleh Firli. Tetapi, ia mengaku hadir atas undangan rekannya lalu bertemu dengan seorang ketua umum partai politik.  

Konferesi pers itu pun kemudian menuai polemik. Sebab, salah satu pimpinan KPK, Alexander Marwata, menyatakan bahwa pengumuman pelanggaran etik Firli tidak disetujui mayoritas pimpinan. 

Pernyataan Alexander itu kemudian dibantah Ketua KPK Agus Rahardjo. Menurut Agus, pengumuman itu telah disetujui mayoritas pimpinan KPK. Agus mengaku sedang berada di luar kota saat konferensi pers dilakukan. 

Baca Juga: Ketua KPK Firli dilaporkan soal sewa helikopter, ini respons Kabareskrim Polri

Namun, pernyataan yang disampaikan Tsani bersama Saut Situmorang atas kesepakatan melalui grup WhatsApp. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, seharusnya calon yang dianggap melanggar etik tak boleh dipilih sebagai pimpinan KPK yang baru. Namun, nyatanya DPR tetap memilih Firli sebagai ketua KPK.

Rencana besar 

Sejak awal, ICW sudah menduga bahwa Komisi III DPR akan memilih calon pimpinan sesuai selera politik sampai mengabaikan catatan negatif calon tertentu.  Menurut ICW, proses seleksi dan pemilihan pimpinan KPK periode 2019-2023 seperti sebuah rencana besar. 

"Sejatinya sinyal komposisi Pimpinan KPK yang baru saja terpilih sudah menguat sejak di Panitia Seleksi Capim KPK. Ini artinya, proses yang terjadi di Pansel Capim KPK, termasuk sikap politik Presiden Jokowi kemarin, dengan apa yang terjadi di DPR RI adalah sebuah proses yang seirama seolah menjadi bagian dari rencana besar," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. 

Baca Juga: Berikut nama-nama pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan

Tak lama usai hasil pemilihan Firli diumumkan, Wakil Ketua KPK 2015-2019, Saut Situmorang menyatakan akan mundur dari posisinya. Dalam keterangan tertulis, Saut mengaku akan mundur per 16 September 2019. 

"Saudara saudara yang terkasih dalam nama Tuhan yang mengasihi kita semua, izinkan saya bersama ini menyampaikan beberapa hal sehubungan dengan pengunduran diri saya sebagai Pimpinan KPK terhitung mulai Senin 16 September 2019," ujar Saut, Jumat (13/9). 

Setelah itu, juga ramai petisi penolakan Firli sebagai ketua KPK. Aksi demo menolak Firli sebagai ketua KPK juga banyak dilakukan pegiat antikorupsi. Masa depan pemberantasan korupsi dinilai bakal suram di tangannya. Ini karena Firli dianggap bukan sosok yang benar-benar bersih dan berintegritas. Firli juga ditolak oleh pegawai KPK. 

Penolakan itu berasal dari penyidik dan pegawai lainnya yang merasa gelisah karena Firli pernah melanggar kode etik saat menjabat sebagai Direktur Penindakan KPK.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Saat Firli Bahuri Terpilih Jadi Ketua KPK: Suara Bulat Komisi III dan Dugaan Ada Operasi Senyap"
Penulis : Wahyuni Sahara
Editor : Bayu Galih

Selanjutnya: ICW desak Jokowi supervisi penyelesaian tes wawasan kebangsaan di KPK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×