Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) akhirnya dibahas oleh Badan Anggaran (Banngar) DPR RI, Senin (4/4).
Terbitnya Perppu 1/2020 ini terbilang menuai kontroversi, sebab dibilang menyalahi aturan perudang-undangan. Kendati begitu, Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah berhadap masyarakat bisa memahami urgensi keberadaan Perppu 1/2020. Sebab langkah tersebut mendesak pemerintah dan parlemen untuk menangkal dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19.
Baca Juga: Sri Mulyani sebut Perppu bisa menjadi bantalan menanggulangi dampak wabah corona
“Kami berharap, jika memang ada unsur masyarakat yang menggugat keberadaan Perpu ini nantinya, kita sudah memiliki argumentasi yang kuat dan tepat, sesuai dengan ketentuan konstitusi yang terdapat dalam UUD NRI 1945.,” kata Said dalam Rapat kerja Banggar DPR RI dengan pemerintah, Senin (4/4).
Lebih lanjut, Said bilang secara payung hukum Perppu sudah cukup kuat. Sehingga bisa menjawab kegelisahan masyarakat terhadap beleid tersebut. Kata Said penerbitan Perppu sudah diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat(1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang Undang (Perppu).
Dalam ketentuan ayat (2) disebutkan bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Kemudian ayat (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Oleh sebab itu, pada Rapat Kerja pada hari ini, kita perlu mendengarkan paparan Pemerintah terhadap Perpu tersebut, sehingga kita bisa memahami dan selanjutnya mendapatkan persetujuan dari Sidang Paripurna DPR RI.
Baca Juga: Pembahasan Perppu penanganan corona di DPR ditargetkan rampung 3 pekan
Begitu pula dalam ketentuan Pasal 52 Undang Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut dalam bentuk Rancangan Undang-Undang.
Said menjelaskan dalam Rapat Paripurna, DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak persetujuan terhadap Perpu tersebut. Bila DPR menyetujui Perpu, maka langsung ditetapkan menjadi Undang-undang. Sebaliknya bila DPR tidak menyetujuinya, maka Perpu tersebut harus dicabut.
“Bahkan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 138/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan menguji Perppu sebelum Perppu itu mendapat persetujuan DPR, apabila ada warga negara yang melakukan pengujian ke MK.,” ujar Said.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News