Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Maraknya kasus sengketa lahan dan sulitnya pembebasan izin lahan memunculkan usulan perubahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Kementerian Pertanahan atau Agraria.
Usulan yang dimunculkan oleh BPN sendiri tersebut ternyata mendapatkan tentangan dari Komisi II DPR yang sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan.
Kalangan DPR menilai, kinerja BPN selama ini masih belum maksimal dalam mengelola sektor pertanahan negara. Permasalahan yang dimaksud khususnya dari internal instansi untuk segera melakukan reformasi birokrasi.
Anggota Komisi II DPR, Gamari Sutrisno, mengatakan, BPN perlu untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh sebelum berubah menjadi sebuah Kementerian.
"BPN masih belum menunjukan kinerjanya dengan baik, jangan sampai ketika ditingkatkan lalu pelayanan publiknya semakin tidak baik," ujarnya kepada Kontan, Senin (2/12).
Menurut Gamari, permasalahan di sektor pertanahan yang masih marak ditemui seperti hambatan pemberian hak atas tanah, masih banyaknya kasus sengketa lahan, dan distribusi tanah yang terlantar.
Ia menilai, pihak DPR juga belum menerima data yang pasti terkait angka kasus sengketa lahan di dalam negeri.
Berdasarkan catatan BPN, dari 7.000 kasus sengketa lahan, pada tahun 2012 sudah terselesaikan sekitar 60%-nya atau setara 4.200 kasus sengketa lahan.
Sedangkan sisanya sekitar 40%-nya dari 7.000 kasus atau setara 2.800 kasus sengketa lahan ditargetkan akan diselesaikan pada tahun ini juga.
Gamari mengatakan, alasan sulitnya dalam melakukan koordinasi dengan bentuk Badan pemerintah tidak bisa dibenarkan.
"BPN masih instansi vertikal, jadi yang perlu dirubah adalah pola pikir sumber daya manusia di lembaga untuk meningkatkan kualitas pelayanan ke masyarakat," katanya.
Dalam Pasal 4 draft RUU Pertanahan menyebutkan bahwa pelaksanaan kewenangan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dilakukan oleh lembaga yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan.
Pengadilan pertanahan
Pihak BPN sendiri mengusulkan ada tambahan kata Kementerian atau lembaga yang melaksanakan tugas di bidang pertanahan untuk mendukung pembentukan Kementerian Pertanahan.
Dalam pembahasan RUU Pertanahan juga disebutkan bahwa sengketa mengenai status kepemilikan tanah dan kebenaran materil data fisik dan yuridis, diselesaikan melalui badan peradilan.
Kemudian, diamanatkan pembentukan Pengadilan Pertanahan pada setiap pengadilan negeri(PN) yang berada di setiap ibukota provinsi.
Pengadilan Pertanahan bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus perkara sengketa di bidang Pertanahan. Susunan Pengadilan Pertanahan pada pengadilan negeri terdiri atas pimpinan, hakim, dan panitera.
Gamari mengatakan, bahwa RUU Pertanahan akan kembali dibahas dalam masa sidang kali ini dan ditargetkan akan selesai pada awal tahun 2014.
Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan juga akan mengundah beberapa pihak terkait termasuk membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari pemerintah.
Kepala Biro Hukum dan Humas BPN, Kurnia Toha, mengatakan, selama ini pihak BPN kesulitan dalam melakukan koordinasi terkait penyelesaian permasalah di sektor pertanahan.
"Ke depan pertanahan merupakan sektor strategis dalam mendorong pertumbuhan nasional, sehingga kewenangan pertanahan harus diemban sebuah Kementerian," katanya.
Ia mencontohkan, dalam pembahasan RUU Pertanahan di DPR, BPN tidak masuk dalam lembaga yang tertuang di amanat presiden (ampres) untuk mewakili pemerintah membahas RUU tentang Pertanahan.
Keterlibatan BPN sendiri dalam pembahasan RUU Pertanahan setelah Kementerian Hukum dan HAM sebagai Ketua delegasi pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk melibatkan BPN.
Menurut Kurnia, untuk menyelesaikan pemanfaatan tanah terlantar BPN harus berkoordinasi dengan banyak lembaga pemerintah seperti Kementerian Kehutanan (Kemhut), Kemkumham, dan Kementerian Pertanian (Kemtan).
"Sebagai Badan tentunya kewenangan juga terbatas, padahal persoalan pertanahan membutuhkan peraturan serta kewenangan yang jelas," katanya.
Kurnia menjelaskan, bahwa kewenangan membentuk Kementerian baru merupakan hak prerogatif presiden dan pengaturannya juga dalam UU Kementerian.
Ia menilai, pencantuman poin Kementerian pertanahan di RUU Pertanahan juga sebagai langkah antisipasi agar ketika nantinya terbentuk Kementerian Pertanahan tidak perlu perubahan poin kecil di RUU Pertanahan kembali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News