Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Selama lebih dari dua dekade terakhir, kontribusi pajak penghasilan dan keuntungan (income & profits) terhadap total penerimaan pajak Indonesia cenderung stagnan.
Berdasarkan laporan OECD bertajuk Revenue Statistic in Asia and the Pacific 2025, angka kontribusi ini pada tahun 2023 tercatat sebesar 42,2%, tidak jauh berbeda dari level tahun 2000 yang mencapai 47,7%.
Secara rinci, kontribusi PPh Indonesia pada tahun 2018 tercatat sebesar 42,2%, kemudian melanjutkan penurunan menjadi 42,1% pada 2019, sebesar 38,2% pada 2020, kemudian sedikit naik menjadi 38,3% pada tahun 2021, serta menunjukkan stagnan sebesar 42,2% pada tahun 2022 dan 2023.
Baca Juga: Korporasi Sudah Setor Pajak Rp 61 Triliun ke Kas Negara Hingga Maret 2025
Koordinator Analis di LAB 45, Reyhan Noor menilai bahwa tingginya aktivitas informal menjadi salah satu hambatan utama dalam pengumpulan pajak yang lebih optimal.
"Masalah struktural dengan aktivitas ekonomi informal yang masih tinggi terlihat dari proporsi pekerja informal yang masih mendominasi sebesar 59,4% per Februari 2025 kemarin," ujar Reyhan kepada Kontan.co.id, Rabu (23/7).
Ia menambahkan bahwa selama sektor informal tetap dominan, basis pajak akan sulit diperluas secara signifikan.
"Dengan tingginya sektor informal, pengumpulan pajak juga akan semakin sulit dilakukan," katanya.
Di samping itu, Reyhan menekankan pentingnya membangun kembali kepercayaan publik terhadap pengelolaan pajak.
Baca Juga: Ditjen Pajak Hapus Sanksi Telat Setor Pajak dan Lapor SPT
Menurutnya, salah satu penyebab kepatuhan pajak yang rendah adalah kepercayaan masyarakat terhadap pertanggungjawaban belanja dari pajak yang masih minim.
Berbagai kasus korupsi, kata Reyhan, menunjukkan masih lemahnya akuntabilitas dalam penggunaan dana publik.
Ia juga menyinggung soal transparansi dalam perencanaan, penggunaan, dan pelaporan belanja negara yang masih perlu dibenahi.
Ketidakhadiran publikasi APBN Kita beberapa waktu lalu bahkan disebutnya sebagai alarm penting bagi pemerintah.
Baca Juga: Tarif PPN Indonesia Masih Rendah, Dirjen Pajak: Pemerintah Punya Ruang untuk Naikkan
"Respons negatif dari pasar modal atas absennya APBN Kita beberapa waktu yang lalu menjadi contoh konkret dan seharusnya menjadi alarm penting bagi pemerintah dalam mengumpulkan pajak ke depan," pungkasnya.
Selanjutnya: Ini Cara Beli Tiket Masuk GIIAS 2025 beserta Harga Online dan Offline
Menarik Dibaca: Benarkah Ubi Cilembu Bagus Dikonsumsi ketika Diet? Ini Jawabannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News