kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.407.000   24.000   1,01%
  • USD/IDR 16.580   -17,00   -0,10%
  • IDX 8.125   73,58   0,91%
  • KOMPAS100 1.120   14,21   1,28%
  • LQ45 780   7,86   1,02%
  • ISSI 292   2,64   0,91%
  • IDX30 406   2,01   0,50%
  • IDXHIDIV20 454   0,57   0,13%
  • IDX80 123   1,36   1,12%
  • IDXV30 131   1,14   0,88%
  • IDXQ30 128   0,32   0,25%

DKI, Medan, Surabaya jadi kota paling bermasalah


Senin, 24 November 2014 / 15:58 WIB
DKI, Medan, Surabaya jadi kota paling bermasalah
ILUSTRASI. Tampilan logo sejumlah perusahaan anggota di kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Jakarta, Rabu (11/1/2023)(KONTAN/Carolus Agus Waluyo)


Sumber: Kompas.com | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Berdasarkan penelitian Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), terdapat tiga kota besar di Indonesia yang memiliki banyak permasalahan. Ketiga kota itu adalah Jakarta, Medan, serta Surabaya.

Wakil Sekretaris Jenderal Urbanisme dan Livable City IAP, Elkana Catur, menilai, ketiga kota ini indeks rata-ratanya di bawah nasional. Menurut dia, pada prinsipnya, ketiga kota tersebut memiliki persoalan unik di tiap wilayah.

"Akan tetapi, ada persoalan serupa yang nilainya di bawah rata-rata nasional, yaitu pada aspek kemacetan, pencemaran lingkungan, kondisi jalan, dan kriminalitas," ujar Elkana kepada Kompas.com di acara Rakernas REI 2014 pada pekan lalu.

Pada aspek lain, Elkana menuturkan, capaian pada tiap kota itu sangat beragam. Dia menaruh perhatian khusus pada Kota Medan karena pada aspek penyediaan listrik (36,25), pengelolaan sampah (54,5), fasilitas difabel (42,25), pemeliharaan budaya lokal (49,75), dan pemeliharaan bangunan bersejarah (46,75), nilainya berada di bawah rata-rata nasional.

Sementara itu, nilai kemacetan Kota Jakarta merupakan yang terparah dari ketiga kota tersebut,, yaitu 42,7. Angka itu jauh di bawah rata-rata nasional, yakni 55,4. Selain parahnya tingkat kemacetan, Jakarta juga dinilai buruk pada aspek kriminalitas (48,67), pencemaran (51,83), ruang terbuka hijau (51,33), lapangan pekerjaan (52,58), dan biaya hidup (52).

Elkana mengatakan, angka-angka tersebut seharusnya menjadi peringatan, khususnya untuk semua pemimpin kota, bahwa masyarakat itu tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan pemerintah.

"Indikator-indikator ini dapat menjadi refleksi bagaimana respons masyarakat terhadap keberadaan ruang kota yang lahir dari kebijakan tata ruang pemerintah," ujarnya.

Pemerintah kota dapat menjadikan indikator-indikator itu untuk mengidentifikasi persoalan tiap kota. Selanjutnya, mereka melakukan perbaikan dalam bentuk kebijakan penataan ruang dan pembangunan kota sesuai dengan karakter masing-masing wilayah.(Arimbi Ramadhiani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×