Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencermati lonjakan permintaan restitusi pajak dari sektor pertambangan, khusususnya batubara, yang kian menggunung dalam beberapa bulan terakhir.
Kondisi ini dinilai sebagai dampak dari fluktuasi harga komoditas yang memicu ketidakseimbangan antara pajak keluaran dan masukan.
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengatakan, pemerintah telah mengusulkan sejumlah langkah alternatif untuk mengantisipasi tren tersebut.
"Tapi kalau yang konteks batubara memang karena volatilitas harga kita sudah usulkan beberapa alternative measures ya," ujar Bimo kepada awak media di Kompleks Parlemen, Selasa (1/7).
Baca Juga: Antisipasi Lonjakan Restitusi, Ditjen Pajak Awasi Permohonan Wajib Pajak
Sayangnya, Bimo tidak menjelaskan langkah alternatif yang dimaksud.
"Nanti kalau emang sudah jadi alternative measures-nya nanti saya kasih tau ke teman-teman," katanya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan restitusi menjadi salah satu penyebab turunnya penerimaan pajak pada semester I-2025.
Lonjakan restitusi utamanya terjadi pada Januari dan Mei 2025. Menkeu sendiri telah berharap DJP dapat mengelola aliran restitusi tersebut secara lebih baik ke depannya.
"Ini oleh Dirjen Pajak baru, sudah mulai dikelola dari sisi keseluruhan track," terang Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, salah satu penyebab tingginya restitusi adalah ditetapkannya batubara sebagai barang kena pajak (BKP) melalui revisi atas UU PPN.
Dengan ditetapkannya batubara sebagai BKP, pajak masukan yang terkait dengan penyerahan batubara bisa dikreditkan.
"Ini menimbulkan restitusi yang cukup besar kepada penerimaan terutama komoditas batubara kita," katanya.
Baca Juga: Lonjakan Restitusi Batubara Bayangi Shortall Penerimaan Pajak di 2025
Sebelumnya, Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menyoroti banyaknya pengajuan restitusi sektor pertambangan yang menjadi penyebab penerimaan pajak masih terkontraksi.
Sejak perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 melalui UU Nomor 2 Tahun 2025, barang hasil tambang kini menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Namun, karena ekspor dikenakan tarif PPN 0% sesuai Pasal 7 ayat (2) huruf a UU PPN, perusahaan tambang bisa mengklaim restitusi PPN masukan tanpa membayar PPN keluaran atas ekspor.
Ketua Umum IWPI Rinto Setiyawan menyebut bahwa fenomena ini merugikan negara dan memperbesar ketimpangan fiskal.
Rinto mengungkapkan bahwa selama 2020–2023, pemerintah telah mengembalikan Rp 253 triliun dalam bentuk restitusi PPN hanya untuk enam jenis barang tambang, seperti batubara, besi/baja, gas alam, minyak, lignit, dan minyak mentah.
Menurutnya, kondisi tersebut sangat tidak adil bagi keuangan negara dan berpotensi memperlebar ketimpangan fiskal.
“Negara justru membayar kembali PPN yang tidak pernah dipungut. Ini mayoritas dinikmati oleh konglomerasi tambang. Ini bentuk subsidi tersembunyi untuk para oligarki tambang,” kata Rinto.
Rinto mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera merevisi ketentuan PPN dalam UU PPN. IWPI mengusulkan agar ekspor hasil tambang dikenai tarif khusus PPN sebesar 5% hingga 10%.
Tujuannya adalah untuk menjamin kontribusi nyata sektor tambang terhadap APBN, mengendalikan restitusi masif yang membebani anggaran, dan menegakkan keadilan fiskal dan konstitusional, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
Selanjutnya: Dolar AS Melemah Jelang Rilis Data Ketenagakerjaan, Fokus ke Kebijakan The Fed
Menarik Dibaca: Tecno Pova 4 Pro Harga Juli 2025 Punya Kamera Memukau, Hasil Fotonya Natural
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News