kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Djoko Tjandra ditangkap, ini kronologis lengkap skandal cessie Bank Bali


Jumat, 31 Juli 2020 / 00:42 WIB
Djoko Tjandra ditangkap, ini kronologis lengkap skandal cessie Bank Bali
ILUSTRASI. Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra tiba di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (30/7/2020).


Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana

KONTAN.CO.ID -JAKARTA.  Pelarian Djoko Sugiato Tjandra harus terhenti. Polisi telah menangkap terpidana kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali.  

Dijemput polisi, Djoko Tjandra mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, Jumat (30/7) malam.

Penangkapan Djoko diharapkan akan membuka tabir atas pengalihan tagih alias cessie Bank Bali. Merunut  rekam jejak, kasus ini diwarnai dengan drama panjang nan getir.

Banyak catatan Kontan yang mengungkap kasus pengalihan tagihan alias cessie Bank Bali hingga menyeret Djoko Tjandra.

Baca Juga: Penangkapan Djoko Tjandra dari Malaysia hingga tiba di Indonesia

Kasus Djoko Tjandra bermula dari krisis 1997/1998. Salah satu skandal yang mencuat dari krisis adalah kasus cessie Bank Bali. Maklum, skandal ini bahkan menyeret nama-nama besar, mulai Gubernur Bank Indonesia (BI), pejabat negara, hingga tokoh Partai Golkar.

Proses hukum Bank Bali bahkan belum benar-benar tuntas hingga saat ini. Sementara Bank Bali sudah tak ada lagi, melebur dengan empat bank lainnya menjadi Bank Permata pada tahun 2002.

Kontan merunut skandal Djoko Tjandra ini secara lengkap berdasarkan berita di Tabloid Kontan dan Harian Kontan sejak 1997 sampai saat ini. 

Skandal cessie Bank Bali bermula saat Direktur Utama Bank Bali saat itu Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada tahun 1997. Nilainya tagihan itu besar yakni Rp 3 triliun.

Tapi nahas upaya Rudy Ramly kandas. BDNI, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara masuk dalam program penyehatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Alhasil, upaya Rudy menagih tagihan tersebut panjang, bahkan tak kunjung cair.

Di tengah upaya penagihan, Rudy Ramli menjalin kerjasama dengan PT Era Giat Prima (EGP). Djoko Tjandra tercatat sebagai Direktur EGP, sementara Setya Novanto yang kala itu menjadi bendahara Partai Golkar menjadi direktur utamanya.

Kerjasama itu diteken pada 11 Januari 1999.  Rudy Ramli dan EGP menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih alias cessie.  Dalam kerjasama ini, EGP akan menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang bisa mereka tagih.

Langkah ini cespleng. Bank Indonesia (BI) dan BPPN setuju mengucurkan duit Bank Bali itu, namun hanya senilai Rp 905 miliar. Dari sini, Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60% atau sebesar Rp 546 miliar, masuk rekening EGP.

Baca Juga: Polri: Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia

Kabarnya, adanya 'kekuatan' politik yang membuat uang itu cair. Isu tersebut terus menggelinding bak bola liar.

Apalagi, setelah pakar hukum perbankan Pradjoto mencium skandal cessie Bank Bali berkaitan erat dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie ke kursi presiden. Kejanggalan tampak dari total fee yang EGP terima.

Dari sini terkuak bahwa cessie tersebut tak diketahui BPPN. Padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Cessie tersebut juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT Bursa Efek Jakarta (BEJ), padahal Bank Bali sudah masuk bursa.

Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf menyadari kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie.  Dari situlah, kasus mengelinding lebih kencang lagi.

Dirut EGP Setyanovanto menggugat BPPN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Walau tetap menang di tingkat banding, Mahkamah Agung (MA) melalui putusan kasasinya pada November 2004 memenangkan BPPN.

Tak hanya itu, EGP juga membawa kasus ini ke ranah perdata dengan menggugat Bank Bali dan BI agar mencairkan dana Rp 546 miliar.

Menariknya, Pengadilan pada April 2000, memutuskan EGP berhak atas dana lebih dari setengah triliun rupiah itu.

Kasus ini terus bergulir ke tingkat selanjutnya. Melalui putusan kasasinya, MA memutuskan duit itu milik Bank Bali. Di tingkat peninjauan kembali, putusan itu tetap sama: duit itu menjadi hak Bank Bali.

Baca Juga: Djoko Tjandra ditangkap!

Di saat bersamaan, Kejagung mengambil alih kasus ini dan menetapkan sejumlah tersangka, antara lain Djoko Tjandra, Syahril Sabirin (Gubernur BI), Pande Lubis (Wakil Kepala BPPN), Rudy Ramli, hingga Tanri Abeng (Menteri Pendayagunaan BUMN).

Mereka dituding telah melakukan korupsi yang merugikan kantong negara. Kejaksaan menyita dana Rp 546 miliar itu dan menitipkan ke rekening penampungan (escrow account) di Bank Bali.

Dari kesekian banyak tersangka, akhirnya hanya tiga orang yang diadili yaitu; Djoko Tjandra, Syahril, dan Pande Lubis. Pande Lubis dihukum empat tahun penjara berdasar putusan MA tahun 2004.

Adapun Syahril Sabirin, kendati pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara tiga tahun, belakangan hakim pengadilan banding dan hakim kasasi menganulir putusan itu.

Yang kontroversial adalah Djoko Tjandra. Selain hanya dituntut ringan, hanya sebelas bulan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian memutusnya bebas. Di tingkat kasasi, lagi-lagi Djoko dinyatakan bebas.

Satu-satunya hakim kasasi yang saat itu melakukan dissenting opinion atas putusan Djoko Tjandra adalah Hakim Agung Artijo Alkostar. Kejaksaan tak menyerah dengan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni melalui mekanisme peninjauan kembali (PK).

Hasilnya memang tak sia-sia. MA akhirnya memutuskan Djoko Tjandra dan Sjahril Sabirin bersalah dan mengukum keduanya dua tahun penjara serta membayar denda sebesar Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.

Namun, sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko Tjandra memilih kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini.

Djoko Tjandra kemudian diketahui telah pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini pada Juni 2012. Namun, alih status warga negara itu tidak sah karena Djoko Tjandra masih memiliki permasalahan hukum di Indonesia.

Nama Djoko Tjandra kembali mencuat setelah jejak buron itu ditemukan pada 8 Juni 2020. Meski statusnya buron, Djoko Tjandra ternyata bisa bebas keluar masuk Indonesia.

Belakangan terungkap, keluar masuknya Djoko Tjandra melibatkan pejabat polisi. Di antaranya yakni tiga jenderal polisi aktif yang diduga membantu buronan kelas kakap kasus Bank Bali tersebut. Akibatnya, tiga jenderal polisi tersebut harus menanggung akibatnya dengan dicopot dari jabatannya karena diduga terlibat dalam kasus ini.

Selain tiga jenderal polisi, belakangan ada juga seorang jaksa yang diduga terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra.

Kini Djoko Tjandra tertangkap dari pelarian panjangnya.  Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, termasuk pelarian panjangnya sejak tahun  2009.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×