Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana
Tapi nahas upaya Rudy Ramly kandas. BDNI, Bank Umum Nasional, dan Bank Tiara masuk dalam program penyehatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Alhasil, upaya Rudy menagih tagihan tersebut panjang, bahkan tak kunjung cair.
Di tengah upaya penagihan, Rudy Ramli menjalin kerjasama dengan PT Era Giat Prima (EGP). Djoko Tjandra tercatat sebagai Direktur EGP, sementara Setya Novanto yang kala itu menjadi bendahara Partai Golkar menjadi direktur utamanya.
Kerjasama itu diteken pada 11 Januari 1999. Rudy Ramli dan EGP menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih alias cessie. Dalam kerjasama ini, EGP akan menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang bisa mereka tagih.
Langkah ini cespleng. Bank Indonesia (BI) dan BPPN setuju mengucurkan duit Bank Bali itu, namun hanya senilai Rp 905 miliar. Dari sini, Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60% atau sebesar Rp 546 miliar, masuk rekening EGP.
Baca Juga: Polri: Djoko Tjandra ditangkap di Malaysia
Kabarnya, adanya 'kekuatan' politik yang membuat uang itu cair. Isu tersebut terus menggelinding bak bola liar.
Apalagi, setelah pakar hukum perbankan Pradjoto mencium skandal cessie Bank Bali berkaitan erat dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie ke kursi presiden. Kejanggalan tampak dari total fee yang EGP terima.
Dari sini terkuak bahwa cessie tersebut tak diketahui BPPN. Padahal saat diteken, BDNI sudah masuk perawatan BPPN. Cessie tersebut juga tak dilaporkan ke Bapepam dan PT Bursa Efek Jakarta (BEJ), padahal Bank Bali sudah masuk bursa.
Ketua BPPN saat itu, Glenn M.S. Yusuf menyadari kejanggalan cessie Bank Bali dan kemudian membatalkan perjanjian cessie. Dari situlah, kasus mengelinding lebih kencang lagi.