Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus melakukan berbagai upaya untuk mengejar target penerimaan pajak di tahun ini. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI).
Terbaru, DJP mengungkapkan bahwa ada potensi pajak tersembunyi senilai Rp 20 triliun dari sektor Crude Palm Oil (CPO) di Sumatra Utara yang belum tergali secara optimal.
Temuan ini berasal dari hasil uji coba sistem deteksi kepatuhan berbasis kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan oleh Pemeriksa Pajak Madya Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Karawang, Joko Ismuhadi, Kamis (13/11/2025).
Baca Juga: Ditjen Pajak Akan Evaluasi Skema Tarif Efektif Rata-Rata PPh 21 Akhir Tahun Ini
Ia menjelaskan bahwa temuan tersebut dihasilkan melalui sistem bernama Artificial Intelligence Compliance Ecosystem (AICEco), yaitu alat berbasis AI yang dirancang untuk mendeteksi anomali dalam laporan keuangan wajib pajak.
ICO memanfaatkan dua formula analitis, yakni mathematical accounting equation dan tax accounting equation, guna menghubungkan data akuntansi dan perpajakan untuk memetakan risiko secara otomatis.
Joko mengungkapkan bahwa hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan di sektor sawit memiliki profil risiko pajak yang tinggi.
Dari 298 perusahaan CPO yang dianalisis, sekitar 71% masuk kategori very high risk atau berisiko sangat tinggi terhadap ketidakpatuhan pajak.
"Kemarin saja uji coba dikasih data 298 data, 71 koma sekian persen masuk kategori very high risk untuk industri CPO di Sumatra Utara dengan potensi pemajakan Rp 20 triliun," kata Joko dalam acara Pusdiklat Pajak, Kamis (13/11).
Baca Juga: Ditjen Pajak Merilis 185.000 Surat Permintaan Penjelasan Data untuk Wajib Pajak
Direktur Ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan bahwa penerimaan pajak pada tahun ini akan tetap shortfall meskipun akan mengejar pajak dari pengemplang CPO.
Menurutnya, AI hanya tools yang digunakan untuk mencari celah dan potensi yang selama ini tak tergali.
"Mereka bayar pajak atau tidak itu dikembalikan lagi ke DJP, apakah mampu untuk membuat mereka bayar pajak. AI tidak membuat orang bayar pajak," katanya.
Kendati begitu, Huda mengusulkan agar pemanfaatan AI tidak hanya difokuskan kepada sektor sawit, melainkan sektor pertambangan.
Hal ini dikarenakan setoran pajak dari sektor tambang dinilai masih minim dan tingkat kepatuhannya masih rendah.
Baca Juga: Siap-Siap! Pedagang Eceran Bakal Jadi Incaran Ditjen Pajak pada 2026
"Masih banyak tambang ilegal, atau bahkan berlindung karena bahan baku maka lolos dari penerapan pajak. Saya rasa sektor pertambangan merupakan sektor potensial untuk menambal pajak," imbuh Huda.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa teknologi AI di perpajakan tidak hanya digunakan untuk mengejar pajak di shadow economy.
Pasalnya semua sektor bisnis juga sudah tersentuh teknologi AI yang diterapkan oleh DJP.
"Jika dilihat dari revenue gap yang signifikan di jelang akhir 2025 ini, penerapan teknologi diharapkan akan banyak membantu untuk memperkecil shortfall pajak," kata Prianto.
Menurutnya, sektor bisnis yang dikelola oleh satu kelompok usaha juga menjadi salah satu fokus utama untuk meningkatkan penerimaan pajak.
Baca Juga: Ditjen Pajak Siapkan Skema Cooperative Compliance untuk Perusahaan Besar Mulai 2026
"BUMN-BUMN yang mencatat laba moncer juga akan diminta untuk tambah setoran pajak di akhir tahun," pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto juga menyinggung peran AI dalam mengoptimalkan penerimaan pajak.
Dengan melatih model AI berbasis data historis Surat Pemberitahuan (SPT) selama 5–10 tahun terakhir, DJP dapat mengenali pola-pola yang tidak biasa atau menyimpang (irregularities) yang bisa mengindikasikan potensi pelanggaran pajak.
"Kalau sekarang kan AI itu kan sudah sangat bisa kita train untuk bisa melihat irregularities," kata Bimo kepada awak media, Senin (14/7).
"Jadi ya generally prinsipalnya seperti mesin learning ya. Dari pattern data yang ada, SPT yang disampaikan 5-10 tahun terakhir, kita lihat patternnya seperti apa, kita lihat di sosmed activity-nya seperti apa, kalau orang pribadi gitu," imbuhnya.
Baca Juga: Ini Jurus Baru Ditjen Pajak untuk Pantau Pajak Lintas Negara
Hanya saja, saat ditanya soal proyeksi potensi penerimaan pajak dari pendekatan ini, Bimo menyatakan bahwa hal itu masih akan dikaji lebih lanjut. "Belum bisa kita sampaikan dulu, nanti akan dikaji lebih lanjut," tegas Bimo.
Selanjutnya: Harga Minyak Melonjak 2%, Rusia Tangguhkan Ekspor Minyak
Menarik Dibaca: Ramalan Zodiak Keuangan dan Karier Besok Sabtu 15 November 2025: Waktunya Adaptasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













