Reporter: Bidara Pink | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sekitar 30%, inflasi pada September 2022 tercatat 5,95% secara tahunan atau year on year (YoY).. Ini meningkat dari capaian inflasi pada Agustus 2022 yang sebesar 4,69% YoY.
Ekonom Senior DBS Bank Radhika Rao menyebut, capaian inflasi pada September 2022 tersebut bukanlah puncak inflasi pada tahun ini. Dengan demikian, masih ada potensi kenaikan inflasi ke depan. Belum lagi, ada risiko dari sisi produksi seperti kenaikan harga pangan.
Tentu, kenaikan inflasi ini berpotensi menggerus daya beli masyarakat. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Radhika menganggap kenaikan upah minimum regional (UMR) pada tahun 2023 menjadi hal yang penting.
Baca Juga: Upah Minimum 2023, Dewan Pengupahan Nasional Masih Tunggu Data BPS
“Kami memperkirakan, pada tahun 2023 ada kenaikan UMR sekitar 9% hingga 10%, mendekati rata-rata 8,8% untuk masa sebelum pandemi, yaitu tahun 2018 hingga 2019,” terang Radhika dalam dokumen yang diterima Kontan.co.id, Senin (24/10).
Kenaikan yang cukup besar dan di atas rata-rata pra pandemi Covid-19 ini dibutuhkan untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan inflasi terutama pada paruh kedua tahun ini.
Terlebih, inflasi kemungkinan masih meningkat pada tahun 2023, karena kenaikan harga BBM ini pasti akan memberikan inflasi dampak lanjutan (second round impact) ke beberapa segmen harga.
Baca Juga: Upah Minimum Tahun 2023 Seharusnya Naik 10%, Ini Pertimbangannya
Selain itu, kenaikan upah ini juga akan mendorong konsumsi rumah tangga. Pasalnya, dorongan konsumsi rumah tangga setelah pelonggaran PPKM kian melemah. Dengan demikian, kenaikan upah menjadi hal yang penting untuk menjaga momentum konsumsi rumah tangga sebelum ada momentum konsumsi menjelang pemilihan umum di tahun 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News