Reporter: Asep Munazat Zatnika, Muhammad Yazid | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Dulu urusan bahan bakar minyak (BBM) selalu jadi momok anggaran negara karena harus menanggung subsidi ratusan triliun rupiah. Namun sebentar lagi bahan bakar minyak akan jadi tambang uang baru bagi pemerintah, lewat pungutan dana ketahanan energi.
Bahkan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, penerapan pungutan dana ketahanan energi akan diperluas untuk seluruh jenis bahan bakar minyak. Artinya, selain premium dan solar, para pengguna BBM non-subsidi seperti Pertamax, Pertamax Plus akan dikenai pungutan dana ketahanan energi.
Pungutan dana ketahanan energi ini kemungkinan juga akan menyasar bahan bakar minyak yang dijual oleh pompa bensin non-Pertamina. "Dana itu digunakan untuk membangun energi terbarukan," ujar Sudirman, kemarin.
Sudirman menyatakan, besar pungutannya kemungkinan tak beda jauh dari rencana pungutan dana energi jenis premium dan solar. Namun dia enggan merinci besaran persisnya pungutan bagi BBM non-subsidi. Alasannya, hari ini (30/12), pemerintah akan menggelar rapat lagi untuk mematangkan arah kebijakan dana ketahanan energi.
Sebagai perbandingan, pemerintah akan memungut dana ketahanan energi sebesar Rp 200 per liter premium dan Rp 300 per liter solar. Pungutan ini akan berlaku mulai 5 Januari 2016, dan berpotensi menyetor hingga Rp 16 triliun pada tahun depan. Pemerintah juga masih menyiapkan lembaga pengelola dana ketahanan energi, termasuk payung hukum pelaksanaannya.
Perlu dasar hukum
Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto menambahkan, komponen dana ketahanan energi akan menaikkan harga jual Pertamax dan Pertamax Plus. Namun, Dwi enggan mengungkapkan potensi kenaikan harga Pertamax dan Pertamax Plus setelah ditambah dana ketahanan energi.
Yang terang, rencana beleid dana ketahanan energi masih memicu kontroversi. Maklum, dasar hukumnya belum jelas. "Tanpa payung hukum yang jelas, dana ketahanan energi ini seperti pungutan liar pada rakyat," kata Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Pri Agung Rakhmanto, Direktur Reforminer menilai pemerintah belum memiliki dasar hukum yang kuat sebagai basis penerapan beleid ini. Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional pun tak tepat jadi landasannya. "Pemerintah harus lebih dulu membuat aturan yang rinci dan jelas," ujarnya. Tanpa itu, dana energi rawan digugat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News