Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Aktivitas sektor manufaktur Indonesia terus menunjukkan perbaikan. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur kembali mencatatkan ekspansi selama empat bulan beruntun hingga November 2025.
Pada November 2025, PMI Manufaktur Indonesia naik signifikan menjadi 53,3, dari 51,2 pada Oktober. Angka ini sekaligus menjadi capaian tertinggi sejak Februari 2025 yang berada di level 53,06.
Head of Macroeconomic and Financial Market Research Permata Bank, Faisal Rachman, menjelaskan bahwa kenaikan PMI pada November 2025 ditopang dua faktor utama.
Pertama karena pola musiman, dimana permintaan dalam negeri menguat menjelang akhir tahun. Kedua, penguatan sektor manufaktur terjadi karena faktor adanya stimulus kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia yang mendorong pertumbuhan (pro-growth) ekonomi domestik dan mengungkit daya beli.
Baca Juga: PMI Manufaktur November 2025 Melonjak, Airlangga: Konsumsi Domestik Cukup Tinggi!
Selain itu, dukungan dari sisi eksternal menurut Faisal juga mendukung peningkatan ekspansi sektor manufaktur.
“Dari sisi eksternal sebenarnya juga cenderung resilient, sejalan dengan harga CPO (minyak sawit) yang terjaga dan solidnya permintaan dari China dan AS (secara year to date) di tengah semakin meredanya dampak perang dagang,” katanya kepada Kontan, Senin (1/12/2025).
Selain itu menurut Faisal, ketidakpastian global seperti konflik geopolitik sudah mereda, dan pasar juga sudah mengantisipasi pemotongan suku bunga The Fed pada Desember 2025. Dengan kondisi tersebut, Faisal menilai peluang perbaikan PMI Manufaktur Indonesia masih terbuka.
“Oleh karena itu sebenarnya PMI Manufaktur Indonesia masih ada peluang untuk membaik meski stimulus tidak ada. Saya lebih lihat stimulus lebih ke upaya untuk mempercepat pertumbuhan dan memang sudah terasa dampaknya," ungkap Faisal.
Menurutnya stimulus bisa terus diberikan jika akselerasi aktivitas ekonomi sudah sustain. Meski demikian, jika tanpa stimulus, Ia menilai permintaan masyarakat masih belum kuat.
“Saat ini, demand (permintaan/daya beli) masyarakat belum kuat sehingga stimulus masih diperlukan karena pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih di bawah pra pandemi atau belum kembali ke level 5%,” kata Faisal.
Baca Juga: Indeks Manufaktur November Naik ke 53,3 Didorong Pemulihan Ekonomi Domestik
Ia juga menyoroti lambatnya transmisi pelonggaran suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate ke suku bunga kredit. Sehingga diperlukan upaya untuk mempercepat itu agar roda ekonomi bisa lebih sustain berputar lebih cepat.
"Jika ini terjadi maka penyerapan tenaga kerja dapat lebih cepat yang berujung pada pemulihan ekonomi secara fundamental, barulah secara bertahap stimulus bisa dikurangi secara signifikan,” jelasnya.
Melihat momentum yang ada, Faisal masih optimistis tren positif PMI Manufaktur di zona ekspansi dapat berlanjut hingga awal tahun depan.
“Ke depan, Indonesia masih punya peluang untuk mencatatkan PMI manufaktur di atas 50 atau level ekspansi pada Kuartal I-2026 karena transmisi suku bunga masih belum maksimal, di tengah ketidakpastian global yang semakin mereda,” terangnya.
Ia menegaskan bahwa stimulus dari pemerintah masih akan diperlukan dalam tahap pemulihan ekonomi. Maklum hal ini agar fondasi ekonomi domestik ke depannya menjadi kuat.
"Dan ini diperlukan sebagai modal upaya pemerintah mengakselerasi pertumbuhan ekonomi,” pungkas Faisal.
Baca Juga: Purbaya Ungkap Alasan PMI Manufaktur Indonesia Meroket pada Oktober 2025
Selanjutnya: Raharja Energi Cepu (RATU) Ditetapkan Sebagai Pemenang Akuisisi SMSDL
Menarik Dibaca: Gen Z vs Milenial vs Gen X: Begini Perbedaan Cara Mereka Bepergian
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













