Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi defisit neraca transaksi berjalan (CAD) Indonesia yang kian melebar sepanjang 2018 menjadi momok bagi perekonomian domestik di tahun ini. Berbagai strategi dan upaya pun ditempuh pemerintah untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dan membawa defisitnya pada target 2,5% dari produk domestik bruto (PDB) di 2019.
Kendati begitu, Ekonom Senior Chatib Basri berpendapat, pemerintah tak perlu terlalu terpaku pada kondisi neraca transaksi berjalan, apalagi berupaya untuk menciptakan surplus.
"Dalam tahap pembangunan, wajar kalau mengalami CAD karena kita mengimpor banyak barang modal dan bahan baku. Ada tahap tertentu di mana kita itu enggak apa-apa punya CAD, tahap sekarang ini," ujarnya saat ditemui pada acara Mandiri Investment Forum 2019, Rabu (30/1).
Mantan Menteri Keuangan ini mencontohkan, Singapura pada tahun 1980-an bahkan pernah mengalami CAD hingga 10% dari PDB. Begitupun dengan China yang pada tahap awal pembangunannya mencetak CAD hingga 12% lantaran impor mesin yang tinggi.
Memang, ia tak menampik bahwa saat ini, pasar cenderung mengutuk negara yang memiliki CAD di atas 3% dari PDB dengan anggapan negara tersebut tidak aman. Itulah yang sempat terjadi pada Indonesia tahun lalu di tengah gejolak ekonomi global yang tinggi pula.
"Contoh, infrastruktur kita kan harus bangun dan butuh barang modal yang harus impor. Terus karena kita takut CAD, lalu kita enggak bangun infrastruktur, begitu? Kalau enggak bangun, ya, enggak ada juga PMA yang mau masuk, bahkan domestik juga," tutur Chatib.
Ia khawatir, apabila pemerintah terlalu paranoid dengan CAD, impor barang modal dan bahan baku justru tertahan. Akibatnya, proses produksi pun terhambat dan berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi yang tengah berada dalam momentum baik.
Yang mesti pemerintah fokuskan ialah menyeimbangkan porsi investasi langsung dan investasi portofolio yang masih timpang hingga sekarang. Minimnya porsi investasi asing langsung (FDI) membuat sebagian besar pembiayaan Indonesia bergantung pada investasi portofolio.
Chatib menggambarkan, sekitar 55% pemegang obligasi pemerintah, baik obligasi domestik maupun internasional, merupakan investor non-resident alias asing. Tak heran, saat Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk mengerek suku bunga acuannya, modal tersebut berbalik pulang ke sana dan membuat pasar keuangan dalam negeri goyah.
"Selama ini, semua diskusinya di Current Account terus, padahal kalau Capital Account-nya running dengan FDI, itu tidak apa-apa ada CAD sampai angka 3% seperti yang Pak Perry (Gubernur BI) bilang," tutur Chatib.
Oleh karena itu, selain pendalaman pasar keuangan, Chatib menyarankan pemerintah serius mengkajian mengenai insentif lewat mekanisme Reverse Tobin Tax.
Menurutnya, skema tersebut akan efektif menahan dana asing tetap di dalam negeri, bahkan mendorong minat untuk reinvestasi dalam jangka lebih panjang sehingga pasar tak rentan terhadap outflow saat terserang sentimen negatif global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News