Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Faisal Basri mengkritisi kebijakan impor gula dan sejumlah pangan yang terlihat membengkak dalam beberapa tahun terakhir.
Pasalnya sektor industri makanan dan industri tidak bergerak banyak dan kebijakan impor kerap dilakukan tanpa memperhitungkan stok dan produksi dalam negeri.
Faisal menyebutkan, Indonesia sebagai negara komoditas ironisnya sudah menjadi negara importir untuk produk-produk yang bisa dihasilkan sendiri.
Namun, pergerakan sektor makanan dan minuman dan terlihat dari penurunan kinerja industri mamin yang menurut BPS pada kuartal pertama 2017 mencapai level 8,92. Namun mengalami penurunan dan menjadi level 8,1 di kuartal ketiga 2018.
Padahal, sektor mamin mendapatkan dorongan dari impor gula rafinasi untuk industri yang menjadi bahan baku utama industri tersebut. Faisal menyebut selama periode 2017-2018, Indonesia sudah mengimpor gula sebanyak 4,45 juta ton.
"Maka walau sudah ada impor gula, tapi kinerja industri mamin tidak bergerak, artinya terjadi penimbunan dan kemungkinan kebocoran gula rafinasi ke pasar," katanya, Senin (14/1).
Volume impor ini sendiri melebihi impor gula China sebesar 4,2 juta ton dan AS yang mencapai 3,11 juta ton. Besaran tonnase ini membuat Indonesia menempati posisi pertama sebagai importir gula dunia.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti perbedaan harga gula dalam negeri dan internasional. Dalam catatannya, harga gula internasional pada November 2018 berada di Rp 12.163 per kilogram, sedangkan harga gula internasional Rp 4.078 per kg.
Artinya terdapat perbedaan harga hingga empat kali lipat, bila permasalahannya terdapat pada stok dalam negeri yang kurang, maka realisasi impor selama ini pada lini impor gula konsumsi seharusnya bisa meredam harga tersebut.
Sama halnya dengan beras, masuknya beras impor menurut Faisal menuai pertanyaan karena tidak mempertimbangkan masa panen. "Waktu beras banyak impor juga banyak, saat beras sedikit impor kecil. Artinya manajemen stok beras kacau," katanya.
Artinya bagi pemerintah, ketimbang mengacu pada rencana swasembada pangan tampaknya memiliki arahan lain, "mereka masih fokus pada pengendalian satu harga karena terlihat masih memikirkan alternatif cepat dengan melakukan impor pangan dan bahan baku untuk tekan harga," kata Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News