Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) melaporkan, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Oktober 2025 tercatat sebesar US$ 149,9 miliar, meningkat dibandingkan posisi pada akhir September 2025 sebesar US$ 148,7 miliar.
Kenaikan posisi cadangan devisa tersebut antara lain bersumber dari penerbitan global bond pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa, di tengah kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah BI dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan, Bank Permata Faisal Rachman memperkirakan, dalam jangka pendek, cadangan devisa diperkirakan masih akan tertekan, tapi ke depan peluang untuk meningkat tetap terbuka.
Baca Juga: Cadangan Devisa Meningkat Jadi US$ 149,9 Miliar, Didorong Penerbitan Global Bond
Ia memperkirakan cadangan devisa akan berada di kisaran US$ 147 miliar hingga US$ 155 miliar, lebih rendah dibanding posisi pada akhir 2024 sebesar US$ 155,72 miliar.
“Dengan nilai tukar rupiah diproyeksikan bergerak di rentang Rp 16.300 triliun hingga Rp 16.500 per dolar AS pada akhir 2025 (dibanding Rp 16.102 per dolar AS di akhir 2024),” tutur Faisal kepada Kontan, Jumat (7/11/2025).
Faisal melihat, dorongan cadangan devisa hingga akhir tahun akan berasal dari surplus neraca dagang yang diperkirakan masih akan berlanjut, meski secara perlahan trennya mulai menyempit. Pertumbuhan impor kemungkinan akan lebih tinggi dibanding ekspor, sejalan dengan arah kebijakan pemerintah yang kini lebih pro pertumbuhan.
Ia menjelaskan, sebagian besar barang impor merupakan bahan baku atau barang modal, yang sebenarnya menjadi penopang untuk mendorong investasi dan ekspansi bisnis.
Sementara itu, pertumbuhan ekspor diperkirakan akan mulai normal kembali setelah sempat meningkat akibat aksi front-loading menjelang penerapan tarif resiprokal pada Agustus 2025. Meski begitu, perlambatan ekspor diperkirakan akan terjadi secara bertahap, didukung oleh masih kuatnya permintaan dari mitra dagang utama terhadap produk seperti crude palm oil (CPO), besi dan baja, serta mesin listrik.
Baca Juga: BI Beberkan Penyebab Aturan DHE SDA Tak Signifikan Tingkatkan Cadangan Devisa
“Tekanan dari perang dagang juga sudah mulai mereda dibandingkan perkiraan awal, sejalan dengan sikap pemerintah AS yang lebih terbuka terhadap negosiasi perdagangan,” ungkapnya.
Secara keseluruhan, Faisal juga memperkirakan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) akan berada di kisaran 0,4% hingga 0,9% dari PDB pada 2025, meningkat dibanding 0,62% pada 2024, masih pada level yang aman dan memungkinkan BI untuk melanjutkan kebijakan pelonggaran moneter.
“Dengan demikian, defisit tersebut diperkirakan tidak akan memberikan tekanan signifikan terhadap cadangan devisa,” jelasnya.
Sentimen lainnya yang akan mempengaruhi cadangan devisa adalah, aliran investasi portofolio kemungkinan akan tertekan dalam jangka pendek. Ketidakpastian politik di AS terkait government shutdown, kondisi fiskal di Eropa, terutama di Prancis, serta perubahan kepemimpinan di Jepang yang kini lebih pro-pertumbuhan, membuat investor global cenderung bersikap risk-off.
Hal ini memicu terjadinya capital outflow dan mendorong investor kembali ke aset safe haven seperti emas dan dolar AS, yang pada akhirnya menekan nilai tukar Rupiah. Untuk menjaga stabilitas Rupiah, BI diperkirakan akan melakukan intervensi di pasar, yang bisa berdampak pada penurunan sementara cadangan devisa.
Namun ke depan, peluang capital inflow tetap terbuka. Government shutdown diperkirakan akan menekan pertumbuhan ekonomi AS, sementara meredanya tensi perang dagang juga menurunkan risiko inflasi di sana. Kondisi ini mendorong naiknya ekspektasi investor terhadap kemungkinan pemangkasan suku bunga The Fed pada Desember 2025, setelah sempat turun tajam pasca sikap The Fed yang lebih less-dovish di pertemuan FOMC Oktober 2025.
“Jika ruang penurunan suku bunga The Fed terbuka, hal ini bisa memicu risk-on sentiment dan mendorong arus dana kembali ke aset berisiko, termasuk pasar portofolio Indonesia,” tambahnya.
Sejalan dengan itu, ia melihat fundamental ekonomi Indonesia yang relatif kuat dibanding negara lain juga menjadi daya tarik tambahan bagi masuknya aliran modal asing, baik dari investasi portofolio maupun direct investment, terutama jika situasi politik dalam negeri membaik dan kebijakan pro-growth pemerintah berjalan efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya: Harga Emas Sentuh US$4.000 per Ounce, Saham Tambang Domestik Melemah Jumat (7/11)
Menarik Dibaca: 11 Tanda Kolesterol Naik yang Sering Terabaikan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













