kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.926.000   -27.000   -1,38%
  • USD/IDR 16.520   -20,00   -0,12%
  • IDX 6.833   5,05   0,07%
  • KOMPAS100 987   -1,19   -0,12%
  • LQ45 765   1,61   0,21%
  • ISSI 218   -0,33   -0,15%
  • IDX30 397   1,17   0,30%
  • IDXHIDIV20 467   0,48   0,10%
  • IDX80 112   0,13   0,12%
  • IDXV30 114   0,08   0,07%
  • IDXQ30 129   0,38   0,29%

Cadangan Devisa Anjlok, Ekonom: Pemerintah Harus Bersinergi dengan Bank Indonesia


Jumat, 09 Mei 2025 / 16:41 WIB
Cadangan Devisa Anjlok, Ekonom: Pemerintah Harus Bersinergi dengan Bank Indonesia
ILUSTRASI. Ekonom menilai penurunan cadangan devisa bukan hanya isu neraca pembayaran, tetapi refleksi dari lemahnya koordinasi antar kebijakan ekonomi. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww/18.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa pada akhir April 2025 sebesar US$ 152,4 miliar, turun US$ 4,7 miliar dari Maret 2025 yang sebesar US$ 157,1 miliar. Ekonom menilai penurunan cadangan devisa ini bukan hanya isu teknis neraca pembayaran, tetapi refleksi dari lemahnya koordinasi antar kebijakan ekonomi dan kegagalan menciptakan ekosistem devisa yang resilien. 

Ekonom dan Pakar Kebijakan UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyebut, penurunan cadangan devisa ini bukan hanya tanggung jawab Bank Indonesia semata. Pemerintah pusat harus turut memperkuat sisi fundamental fiskal dengan menjaga defisit anggaran dalam batas wajar, mempercepat belanja produktif yang mendorong substitusi impor, serta menata ulang strategi utang luar negeri yang bisa membebani devisa. 

Dalam jangka menengah, reformasi struktural yang mendalam seperti hilirisasi industri yang benar-benar berorientasi ekspor, bukan sekadar pemrosesan bahan mentah yang harus menjadi fokus utama pembangunan ekonomi nasional.

Baca Juga: Penurunan Cadangan Devisa Paling Tajam Kedua Dalam 5 Tahun Terakhir

"Penurunan ini bukan sekadar fluktuasi biasa, melainkan sinyal serius yang menunjukkan tekanan terhadap fondasi makroekonomi Indonesia yang harus direspons secara strategis dan mendalam oleh otoritas moneter," ungkapnya dikutip Jumat (9/5).

Menurutnya terlepas dari sentiment global, keroposnya fondasi devisi justru berasal dari dalam negeri, sehingga pemerintah dan BI sudah seharusnya bergerak melakukan kebijakan jangka pendek menuju reformasi kebijakan devisa yang terencana, terkoordinasi, dan berbasis data. 

Sebagai benteng pertahanan utama dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan persepsi pelaku pasar terhadap kredibilitas kebijakan ekonomi nasional, cadangan devisa yang menurun dalam jumlah signifikan patut dikhawatirkan. 

"Cadangan devisa bukan hanya angka di atas kertas, melainkan simbol kepercayaan internasional terhadap perekonomian Indonesia dan alat intervensi riil bagi stabilitas eksternal," terangnya.

Achmad menjelaskan, terdapat tiga alasan mengapa penurunan cadagan devisa sebesar US$ 4,7 miliar ini tidak bisa dianggap remeh. Pertama, dalam konteks global, ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan kebijakan suku bunga tinggi The Fed masih mendominasi sentimen pasar keuangan. 

Baca Juga: Cadangan Devisa RI Merosot US$ 4,6 Miliar, Begini Prospeknya Hingga Akhir Tahun 2025

Kedua, dari sisi domestik, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah mendorong intervensi agresif BI di pasar valas, yang berkontribusi besar terhadap penurunan cadangan devisa. Ketiga, besarnya repatriasi dividen dan pembayaran utang swasta yang jatuh tempo pada kuartal kedua turut menekan posisi devisa.

Lebih jauh Achmad menilai, inilah momentum yang tepat bagi Bank Indonesia untuk melakukan introspeksi kebijakan dan memperkuat empat pilar ketahanan devisa secara sistemik. Pertama, penguatan manajemen ekspektasi nilai tukar. 

Menurutnya sejauh ini, intervensi BI di pasar valas tampak reaktif terhadap gejolak nilai tukar harian. Namun volatilitas jangka pendek seharusnya tidak menjadi justifikasi bagi pengurasan cadangan devisa yang agresif. Diperlukan strategi forward guidance yang lebih komunikatif, disertai transparansi arah kebijakan suku bunga dan intervensi pasar. 

"BI harus bisa menanamkan kepercayaan pelaku pasar bahwa stabilitas nilai tukar tidak selalu identik dengan pertahanan di harga nominal tertentu, melainkan pada pengelolaan ekspektasi yang kredibel," ungkapnya.

Kedua, menurutnya diversifikasi instrumen pembentukan devisa juga dibutuhkan. Mengingat ketergantungan terhadap ekspor komoditas primer dan aliran modal portofolio jangka pendek menjadikan cadangan devisa kita sangat rentan terhadap volatilitas global. 

Achmad menilai, sudah saatnya BI bersama otoritas fiskal menyusun strategi jangka menengah untuk memperluas basis penerimaan devisa melalui ekspor jasa (seperti pariwisata medis dan digital), promosi investasi langsung yang menciptakan ekspor berkelanjutan, serta kebijakan local content yang mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku. 

"Di sini, sinergi antara BI dan Kementerian Perdagangan, Kemenperin, serta BKPM menjadi sangat krusial," ungkap Achmad.

Ketiga, reformasi pasar valas domestic dibutuhkan, mengingat tingginya permintaan valas dari sektor korporasi dan rendahnya pasokan dolar di pasar spot dalam negeri menunjukkan bahwa pasar valas Indonesia belum cukup dalam dan efisien. 

Dengan demikian, BI perlu mendorong penguatan pasar valas domestik melalui instrumen hedging yang lebih mudah diakses, pelonggaran kebijakan rekening valas dalam negeri, serta insentif bagi repatriasi devisa ekspor (DHE) yang lebih kompetitif. 

Menurutnya, kebijakan DHE selama ini belum cukup efektif karena terlalu menekankan pendekatan administratif ketimbang menciptakan ekosistem yang menarik bagi eksportir untuk menyimpan devisa mereka di dalam negeri.

Keempat, perlunya rekalibrasi kebijakan suku bunga. Pasalnya, alam konteks dual mandate—menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar—BI harus mempertimbangkan dengan hati-hati trade-off antara suku bunga tinggi untuk menarik modal asing dan risiko terhadap pertumbuhan kredit domestik. 

Kenaikan suku bunga acapkali menjadi respons utama terhadap tekanan nilai tukar, namun tanpa koordinasi dengan kebijakan fiskal dan struktur pasar keuangan, kebijakan ini bisa berujung pada stagnasi ekonomi yang kontraproduktif. Oleh karena itu, BI perlu menyeimbangkan antara daya tarik aset rupiah dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi domestik.

"Kita tidak boleh lupa bahwa posisi cadangan devisa per April 2025 yang tercatat sebesar USD 136,2 miliar kini telah menyusut drastis ke kisaran US$ 131,6 miliar. Penurunan sebesar ini hanya dalam satu bulan menunjukkan tekanan yang luar biasa," ungkapnya

Lebih lanjut, jika tren ini tidak dibendung dalam beberapa bulan ke depan, Achmad menilai Indonesia bisa menghadapi krisis kepercayaan yang jauh lebih sulit dikendalikan—terutama menjelang semester kedua tahun ini di mana volatilitas global biasanya meningkat.

Selanjutnya: RUPS dan Aksi Korporasi BUMN Non-Tbk Ditunda, Istana: Proses Pembenahan

Menarik Dibaca: Katalog Promo JSM Alfamidi Hanya 4 Hari Periode 9-12 Mei 2025, Cek di Sini!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×