kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.528.000   8.000   0,53%
  • USD/IDR 16.254   -54,00   -0,33%
  • IDX 7.057   -8,46   -0,12%
  • KOMPAS100 1.055   -0,65   -0,06%
  • LQ45 828   -2,28   -0,27%
  • ISSI 215   0,07   0,03%
  • IDX30 424   -0,68   -0,16%
  • IDXHIDIV20 513   0,21   0,04%
  • IDX80 120   -0,17   -0,14%
  • IDXV30 125   0,79   0,63%
  • IDXQ30 142   0,12   0,08%

BPJS Watch sebut rencana pemerintah subsidi kelas 3 mandiri dinilai inefisiensi APBN


Senin, 11 November 2019 / 09:30 WIB
BPJS Watch sebut rencana pemerintah subsidi kelas 3 mandiri dinilai inefisiensi APBN
ILUSTRASI. Pegawai saat menunjukkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di kawasan Matraman, Jakarta Pusat, Selasa (5/11/2019). BPJS Kesehatan mengakui sejumlah Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Buka


Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Kesehatan membuka wacana Pemerintah akan mensubsidi iuran kelas 3 Mandiri, sehingga Pasal 34 Pepres No. 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan iuran kelas 3 mandiri atau Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) menjadi Rp. 42.000 bisa dilaksanakan di 1 Januari 2020. 
 
Bila rencana tersebut disetujui, maka APBN akan menggelontorkan dana tambahan dana sebesar Rp. 4.1 Triliun dengan perhitungan 20,9 juta orang.

Baca Juga: Hadapi kenaikan iuran BPJS, Siloam International (SILO) tambah dua lisensi BPJS
 
Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai, rencana tersebut kurang tepat. Mengacu pada Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), Pemerintah membayar iuran untuk rakyat miskin, sementara untuk yang mampu maka orang tersebut harus mengiur.
 
“Kelas 3 PBPU memang diisi oleh orang miskin dan orang yang mampu. Orang miskin penghuni kelas 3 adalah kelompok orang yang harusnya dapat PBI, tapi orang tersebut tidak bisa masuk PBI karena ada keterbatasan kuota PBI,” kata Timboel dalam siaran persnya, Minggu (10/11).
 
Timboel menilai, bila Pemerintah mensubsidi PBPU kelas 3, maka itu berpotensi sebagai tindakan inefisiensi APBN, karena APBN memang digunakan untuk membiayai iuran orang miskin seperti diamanatkan UU SJSN. Dan tentunya dengan subsidi ini maka beban APBN akan terus bertambah bila kelompok kelas 1 dan 2 peserta mandiri berpindah ke kelas 3. 

Baca Juga: BPJS Kesehatan nunggak, keuangan rumah sakit terganggu
 
“Lebih baik dana subsidi yang diwacanakan Pak Menkes tersebut dialokasikan sebagai dana cadangan untuk mengantisipasi defisit JKN di 2020,” katanya. 
 
Timboel mengusulkan tiga (3) langkah bagi pemerintah. Pertama, kalau pemerintah ingin membantu orang miskin di PBPU, maka pemerintah harus melakukan cleansing data PBI APBN dengan sesegera mungkin dan secara obyektif,  sehingga benar-benar orang miskin lah yang bisa menghuni PBI.
 
“Dengan cleansing data yang baik, maka orang miskin di PBPU akan menjadi peserta PBI,” imbuhnya.

Baca Juga: Anggota Komisi IX DPR tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas III
 
Kedua, dengan keterbatasan PBI APBN, maka Pemerintah bisa melakukan cleansing data PBI APBD yang jumlahnya sekitar 37 jutaan sehingga yang masuk PBI APBD benar-benar orang miskin.
 
Timboel melihat ada beberapa daerah seperti DKI Jakarta yang "mengobral" Kartu Jakarta Sehat (KJS) nya untuk orang mampu, yang seharusnya KJS diperuntukkan untuk orang miskin. Di satu sisi alokasi PBI APBN diberikan untuk 1.2 juta warga DKI Jakarta yang miskin, di sisi lain KJS (PBI APBD DKI) membiayai orang DKI yang mampu.

 Dengan jatah 1.2 juta orang miskin DKI yang dibiayai APBN maka orang miskin dari propinsi lain terhambat masuk PBI APBN karena kuotanya hanya 96.8 juta.
 
“Harusnya 1.2 juta PBI APBN tersebut dicabut dari warga DKI yang miskin dan jatah 1.2 juta orang tersebut diserahkan ke KJS saja sehingga jatah  1.2 juta tersebut bisa dialokasikan untuk propinsi lain yang benar-benar membutuhkan,” terang Timboel. 
 
Timboel menegaskan, dengan 1.2 juta yang diserahkan ke APBD DKI, maka KJS harus dicleansing juga untuk memasukkan 1.2 juta tersebut menggantikan orang-orang mampu yang saat ini dapat KJS.

Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan naik, Mitra Keluarga optimalisasi ketersediaan obat generik
 
“Bila APBD DKI mampu membiayai 1.2 juta orang yang keluar dari PBI APBN dan mampu juga menjamin orang-orang mampu di KJS, ya silahkan saja dilanjutkan tanpa adanya cleansing data KJS,” katanya.
 
Ketiga, Pemerintah pusat bisa menambah kuota PBI APBN dan  Pemerintah daerah tambah kuota  PBI APBD masing-masing daerah sehingga orang miskin yang belum masuk di PBI bisa ditampung di dua pos tersebut lebih banyak lagi, khususnya orang miskin di kelas 3 mandiri.
 
“Bila hal ini dilakukan dengan baik, maka kelas Mandiri yaitu kelas 1, 2 dan 3 benar-benar akan dihuni orang mampu yang membayar iuran sendiri, tanpa perlu harus disubsidi Pemerintah lagi,” tambahnya.

Baca Juga: Rumah sakit swasta mengeluhkan keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan
 
BPJS Watch berharap berharap Pemerintah mau meninjau kembali Pasal 34 Perpres 75/2019 tentang kenaikan iuran kelas mandiri. Timboel meminta pemerintah melakukan kenaikan yang wajar, tidak sebesar yang ada di Pasal 34 tersebut.
 
Menurut Timboel, kenaikan itu mirip seperti kenaikan di 2016 lalu sebagaimana dalam Perpres 19 Tahun 2016, dimana kelas 1 naik Rp. 17 ribu, kelas 2 naik Rp. 9 ribu. Untuk kelas 3 naikkan saja 2 - 3 ribu hingga cleansing data tuntas.
 
“Saya berharap Komisi IX pun memperjuangkan peserta kelas 1 dan 2 agar kenaikannya tidak tinggi seperti yang diamanatkan Pasal 34,” ujarnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×