Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memproyeksikan Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2025 akan berbalik surplus sebesar Rp68,66 triliun. Padahal, sebelumnya BI menargetkan defisit Rp26,71 triliun.
Perubahan proyeksi ini terjadi karena penerimaan BI diperkirakan jauh lebih tinggi dibandingkan pengeluaran.
Berdasarkan data presentasi ATBI 2025, penerimaan diproyeksikan mencapai Rp234,39 triliun atau 138,58% dari target, sementara pengeluaran hanya Rp165,72 triliun atau 84,62% dari target.
Ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, menjelaskan bahwa pergeseran dari defisit ke surplus terutama disebabkan oleh kenaikan laba moneter hasil kebijakan intervensi valuta asing (valas) dan pengelolaan portofolio surat berharga.
Baca Juga: Bank Indonesia Siapkan 12 Program Strategis di 2026
“BI memiliki devisa dengan harga perolehan rendah. Saat digunakan untuk intervensi di pasar valas dengan harga jual yang lebih tinggi, muncul laba moneter. Namun, cadangan devisanya berkurang di neraca,” kata Yanuar kepada KONTAN, Rabu (12/11/2025).
Lebih rinci, surplus tersebut didorong oleh serapan anggaran pengeluaran kebijakan yang lebih rendah dari target, yaitu Rp140,95 triliun atau 83,31% dari target.
Di sisi lain, penerimaan dari anggaran kebijakan justru lebih tinggi, mencapai Rp176,24 triliun atau 128,05% dari target.
Menurut Yanuar, anggaran kebijakan BI mencakup operasi pasar terbuka seperti intervensi valas di pasar spot dan non-deliverable forward (NDF), pendapatan bunga bersih dari operasi pasar Reverse Repo, serta selisih bunga antara surat berharga dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
“Selisih positif muncul karena cadangan valas yang diperoleh di harga rendah dijual di harga spot dan NDF yang tinggi. Dari situlah laba terbentuk,” jelasnya.
Baca Juga: Bank Indonesia Targetkan Surplus Anggaran Rp 20,8 Triliun di 2026
Meski demikian, Yanuar mengingatkan bahwa surplus besar tidak otomatis berarti BI memiliki ruang tak terbatas untuk menjaga stabilitas moneter.
“Semuanya tergantung pada cadangan valas dan posisi arus modal. Kalau cadangan terus dilepas sementara inflow tak terjadi, stamina bisa habis juga,” ujarnya.
Ia menambahkan, BI masih harus memperhatikan stabilisasi harga Surat Berharga Negara (SBN) di tengah tren global yang menantang.
Saat ini, banyak bank sentral negara berkembang meningkatkan kepemilikan emas sebagai lindung nilai terhadap risiko crash pasar utang global dan pelemahan mata uang.
Namun, menurut Yanuar, BI belum memiliki rasio kepemilikan emas yang besar, karena lebih banyak menambah portofolio SBN dibandingkan emas.
Kondisi BI dinilai masih solid selama tidak terjadi gejolak besar di pasar SBN dan arus masuk valuta asing tetap stabil.
Baca Juga: BI Bakal Luncurkan Surat Berharga BI-FRN, Ini Bedanya dengan Instrumen SRBI
“Surplus bisa berlanjut selama rupiah melemah dan BI memiliki cadangan devisa yang dibeli di harga rendah. Tapi, kalau tekanan pasar utang global makin kuat dan inflow seret, risikonya tetap ada,” kata Yanuar.
Ia menutup dengan catatan bahwa tren global saat ini masih menunjukkan gejala stagflasi.
“Likuiditas yang disuntik bank sentral negara maju kini lebih banyak berputar di dalam negeri untuk menyelamatkan surat utang pemerintahnya. Jadi, sumber inflow dari luar akan ketat dalam jangka pendek,” tandasnya.
Selanjutnya: Prabowo Beri PSN untuk Pindad, Menperin Ungkap Kelanjutan Mobil Nasional
Menarik Dibaca: Hujan Lebat di Daerah Ini, Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (13/11) di Jabodetabek
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













