Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menyebut Bank Indonesia (BI) perlu memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 4,00% pada pertemuan bulan ini.
Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky optimistis, pemangkasan suku bunga acuan ini mampu mendorong permintaan agregat dan meringankan beban BI dalam skema burden sharing.
Baca Juga: Sejam jelang rehat, IHSG bertahan di zona hijau di tengah turunnya bursa Asia
"Pemotongan suku bunga akan meringankan beban dari operasi moneter BI dalam skema burden sharing atau penerbitan obligasi oleh Kementerian Keuangan," kata Riefky dalam asesmen yang diterima Kontan.co.id, Kamis (16/7).
Seperti yang telah diketahui, pemerintah dalam hal ini Kemenkeu dan bank sentral telah sepakat untuk berbagi beban dalam mendanai pengeluaran fiskal, dengan cara memindahkan sebagian beban pembayaran bunga SBN yang dibeli langsung oleh BI.
Terperinci, BI akan menanggung semua imbal hasil dari SBN yang diterbitkan pemerintah untuk mendanai kepentingan publik seperti terkait kesehatan, perlindungan sosial, sektoral (K/L), dan pemerintah daerah sebesar BI 7 days reverse repo rate.
Baca Juga: Jelang penentuan suku bunga BI, cermati saham perbankan hingga properti
Sementara untuk kepentingan non publik khususnya terkait UMKM dan korporasi non UMKM, biaya imbal hasil akan mengikuti tingkat imbal hasil pasar dan Kemenkeu akan menanggung biaya sebesar reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, sementara sisanya ditanggung bank sentral.
Selain untuk meringankan beban operasi moneter BI, pemangkasan suku bunga acuan yang perlu dilakukan juga menimbang dengan kondisi eksternal Indonesia serta nilai tukar rupiah yang masih relatif stabil, cadangan devisa (cadev) yang memadai, serta tingkat kepercayaan investor yang terjaga.
Cadangan devisa kembali meningkat ke level US$ 131,72 miliar di Juni 2020 dan peningkatan cadangan devisa ini sebaaain besar dikontribusi oleh penerbitan surat utang global.
Baca Juga: Saham-saham yang paling banyak diobral asing kemarin, Rabu (15/7)
"Cadangan devisa yang lebih tinggi juga membuat BI memiliki ketahanan lebih dalam menghadapi gejolak eksternal dan menjaga stabilitas finansial," tambah Riefky.
Lebih lanjut, nilai tukar rupiah memang masih terdepresiasi. Namun, secara relatif masih memiliki performa yang lebih baik ketimbang beberapa mata uang negara sebaya lainnya. Sejauh ini, rupiah mencatat tingkat depresiasi yang relatif rendah, yaitu 4,0%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News