Reporter: Aprillia Ika |
JAKARTA. Proyek pengadaan kapal patroli tahun anggaran 2007 yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan (Ditjen Hubla Dephub) ternyata rentan suap dan rentan pelanggaran. Demikian diungkapkan oleh salah satu saksi kasus tersebut, Kepala Seksi Sarana Ditjen Hubla Dephub Tansea Parlindungan Malau, dalam persidangan terdakwa Direktur Utama PT Bina Mina Karya Perkasa Dedi Suwarsono di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) di Jakarta, Senin (20/10).
Menurut Malau, proyek tersebut telah mengabaikan beberapa peraturan dalam Keppres No. 80 tahun 2003 tentang proses pengadaan barang dan jasa. Pasalnya, sebelum proses tender proyek berjalan, pihak Dephub, DPR dan rekanan pengusaha sudah bekerjasama menentukan pemenang tender dan besaran uang yang harus disetor para calon peserta tender bagi pihak Dephub dan DPR.
Sebelum tender mulai, tercatat ada lima kali pertemuan yang melibatkan Bulyan (anggota DPR Komisi V-red), Djoni Algamar (Direktur Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai/KPLP Ditjen Hubla Dephub-red), beberapa rekanan Dephub termasuk terdakwa Dedi, serta saksi sendiri. "Saya tidak pernah ingatkan Pak Djoni kalau bertemu rekanan sebelum tender itu dilarang. Saya tidak berani Pak Hakim. Kalau saya tidak ikuti Pak Djoni pasti saya akan sulit," ujar Malau.
Pertemuan-pertemuan tersebut antara lain pernah terjadi di Hotel Crowne Plaza pada bulan September 2007. Pertemuan tersebut menurut Malau merupakan inisiatif dari Bulyan yang mengaku sebagai utusan dari Komisi V DPR. Selain oleh saksi dan Bulyan, pertemuan tersebut dihadiri oleh terdakwa Dedi Suwarsono, Krisna Sentosa, Chandra, Dwi dan Prayogo.
Dalam pertemuan pertama tersebut, Bulyan membicarakan tentang cara pengembangan sarana dan prasarana Hubla Dephub agar lebih berkembang. Caranya adalah dengan membuat proyek senilai Rp 360 miliar yang terbagi dalam 12 paket proyek. Dalam pertemuan itulah Bulyan meminta masing-masing rekanan memberikan fee sebesar delapan persen kepada Bulyan. Tak pelak bila para rekanan yang diundang merasa keberatan atas permintaan Bulyan tersebut. Karena situasi makin alot, pertemuan tersebut akhirnya bubar tanpa ada hasil akhir.
Pertemuan kedua terjadi bulan Oktober 2007 di Hotel Crowne Plaza. Masih atas undangan Bulyan. Semua yang hadir pada pertemuan pertama hadir pula dalam pertemuan kedua ini dengan tambahan satu rekanan bernama Pak Hosea. Pada pertemuan ini Bulyan masih mempertahankan meminta fee sebesar delapan persen dari nilai proyek. Bulyan juga meminta agar pembayaran fee tersebut dibagi dalam dua tahap. Yaitu pada saat pembayaran uang muka dan pada saat pembayaran termin pertama. Namun lagi-lagi pertemuan tersebut menemui jalan buntu akibat para rekanan ngotot tidak mau memberikan fee sebesar itu kepada Bulyan.
Pertemuan ketiga terjadi di hotel Mercure. Pertemuan yang hanya dihadiri pihak Hubla dengan para rekanan ini terjadi atas inisiatif dari Djoni dan Malau. Dalam pertemuan ini, para rekanan mengadu kepada Djoni bahwa mereka keberatan dengan permintaan Bulyan. Dalam pertemuan tersebut, terdakwa Dedi, serta rekanan lainnya bernama Ratno dan Krisna mengaku kepada Djoni telah memberikan uang operasional ke KPLP. "Uang operasional itu atas perintah dari Pak Djoni," ujar Malau. Besarannya Rp 25 juta sampai Rp 35 juta tiap perusahaan. Total yang disetor ke KPLP dari ketiga rekanan tersebut sebesar Rp 150 juta.
Uang sebesar Rp 150 juta tersebut kemudian dibagi-bagikan oleh Djoni ke Ketua Panitia Lelang Didi Suwarsono sebesar Rp 45 juta dan ke saksi Malau sebesar rp 5 juta. Sementara sisanya disimpan sendiri oleh Djoni. "Uang tersebut sudah diminta padahal lelang belum dilaksanakan," imbuh Malau. Pasalnya, lelang pengadaan kapal sendiri baru dilakukan pada awal Maret 2008.
Pertemuan keempat terjadi di hotel Crowne Plaza. Lagi-lagi hanya pihak Hubla dan rekana yang hadir. Pertemuan ini menurut Malau membahas masalah teknis kapal yang akan ditenderkan.
Tak lama kemudian, pertemuan kelima terjadi di Hotel Red Top. Lagi-lagi Bulyan tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, Djoni menjelaskan kepada para rekanan tentang masalah teknis pengadaan kapal patroli. Djoni juga menjelaskan bahwa permintaan Bulyan akan besaran fee turun menjadi sebesar 7,5 persen. Dalam pertemuan tersebut dilakukan undian siapa rekanan yang mendapat proyek dalam bentuk paket-paket tersebut.
Selanjutnya, pertemuan keenam terjadi di hotel Aston. Dalam pertemuan keenam tersebut, pihak Hubla membahas teknis pengadaan kapal dan pengumuman pemenang lelang. Dalam pertemuan tersebut pihak Hubla mengumumkan pemenang lelang antara lain PT Carita Boat memenangkan Paket A senilai Rp 23 miliar. PT Prusconeo memenangkan paket B senilai Rp 23 miliar. Dan terakhir PT Bina Mina Karya Perkasa yang dikomandoi terdakwa Dedi memenangkan Paket C dengan nilai proyek Rp 23 miliar.
Pertemuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam pertemuan ketujuh. Dalam pertemuan ketujuh, yang mengambil tempat di Delta Spa, Djoni meminta para rekanan pemenang tender rekayasa tersebut menandatangani kontrak kerjasama. Dalam pertemuan tersebut, Djoni meminta kepada saksi Malau agar mengupayakan dana untuk Dirjen Hubla Effendi Batubara dari para rekanan tersebut.
Besaran dana yang dimintakan Djoni kepada Malau antara lain untuk Dirjen Hubla Effendi Batubara sebesar US$ 1500 per rekanan. Untuk Sesditjen Ajiph R. Anwar agar dimintakan US$ 500 per rekanan. Untuk para Kepala Bagian (Kabag) seperti Kabag Perencanaan Pak Kemal, Kabag Hukum Umar Arif, serta para sekretarisnya yang berjumlah sembilan orang agar dimintakan uang Rp 7,5 juta per rekanan.
Kemudian, Juni 2008 Malau diminta menghadap Dirjen Hubla bersama-sama dengan Djoni dan Sesditjen. Dalam ruangan Dirjen Hubla tersebut, Djoni menyerahkan map berisi uang sebesar US$ 7500 dalam bentuk tunai. Waktu memberikan map tersebut ke Dirjen Hubla Effendi Batubara, Djoni sempat bilang, "Pak proses ini (lelang-red) sudah selesai," pungkas Malau.
Secara keseluruhan, saksi Malau mengungkapkan bahwa proses lelang yang diumumkan dalam media massa hanya permasalahan administratif semata. "Usul proyek ini sudah sejak 2006. Sementara adanya peserta lelang hanya formalitas belaka. Dari para rekanan, saya, Pak Djoni, Pak Dirjen, Pak Sesditjen mendapat fee sebesar Rp 135 juta per kapal," imbuh Malau.
Kejadian kemudian bergulir pada saat pembayaran uang muka. terdakwa Dedi harus membayar uang muka sebesar Rp 4,6 miliar atau sebesar 20% dari nilai proyek senilai Rp 23 miliar tersebut. "Uang tersebut habis dibagi-bagi untuk Pak Bulyan, Pak Djoni, Pak Dirjen dan Pak Sesditjen," lanjut Malau. Dalam pembagian tersebut, Malau mendapat jatah sebesar Rp 30 juta. "Rencananya dalam minggu ini uang tersebut akan saya kembalikan ke KPK," janji Malau.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News