kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Bappenas: Pertumbuhan ekonomi 2020-2024 berada dalam rentang 5,4%-5,7%


Jumat, 08 Februari 2019 / 19:21 WIB
Bappenas: Pertumbuhan ekonomi 2020-2024 berada dalam rentang 5,4%-5,7%


Reporter: Grace Olivia | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperhitungkan potensi rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan dalam periode 2020-2024 berada dalam rentang 5,4% - 5,7%.

Namun, struktur perekonomian yang masih bersandar pada sektor pertanian, sumber daya alam (SDA), serta manufaktur dan jasa sederhana dinilai tak memungkinkan untuk mencapai target pertumbuhan tersebut.

Menggandeng Asian Development Bank (ADB), Bappenas pun memetakan kebijakan untuk mendukung pembangunan sektor manufaktur Indonesia untuk 2020-2024. Kebijakan terutama ditujukkan untuk memacu pertumbuhan sektor manufaktur yang sejak krisis ekonomi 1998 lalu selalu tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, sektor manufaktur memegang kontribusi terbesar terhadap terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia, yakni sekitar 20%.

"Ini kenapa pertumbuhan ekonomi kita sulit ke atas 5%, karena sektor manufaktur yang notabene memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB saja hanya tumbuh sekitar 4%, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro dalam pidatona di acara peluncuran Laporan Kebijakan untuk Mendukung Pembangunan Sektor Manufaktur Indonesia 2020-2024, Jumat (8/2).

Padahal, ADB mencatat, sektor manufaktur memiliki setidaknya empat keunggulan yang menjadikannya sebagai "mesin pertumbuhan ekonomi". Pertama, manufaktur menjadi sarana untuk mengalihkan tenaga kerja tradisional yang produktivitasnya rendahmenjadi tenaga kerja profesional dengan produktivitas tinggi.

Kedua, manufaktur dapat menaikkan produktivitas ekonomi Indonesia lebih cepat dibandingkan sektor lainnya. Pertumbuhan produktivitas paling signifikan akan terlihat pada tenaga kerja, terlepas dari kondisi kebijakan domestik, sumber daya manusia, geografi, maupun kualitas institusi yang melingkupi industri manufaktur itu sendiri.

Ketiga, produk manufaktur memiliki elastilitas permintaan yang lebih tinggi dibandingkan produk pertanian. Di tengah permintaan terhadap produk manufaktur yang meningkat secara global, biaya produksinya justru dalam tren menurun sehingga berpotensi lebih menguntungkan. Negara yang spesialisasinya pada produk pertanian maupun produk primer lainnya sudah tentu tak akan menikmati keuntungan dari pasar manufaktur dunia yang kian berkembang ini.

Keempat, perlu dicatat bahwa dalam kaitannya dengan neraca pembayaran, semakin tinggi pendapatan per kapita suatu negara maka semakin tinggi pula permintaan terhadap produk manufakturnya. Tanpa basis manufaktur yang kuat, negara berkembang seperti Indonesia akan terus mengimpor barang manufaktur untuk memenuhi kebutuhannya dan ini akan memukul neraca pembayaran secara berkepanjangan.

Sayangnya, sebelum menikmati potensi keunggulan tersebeut, Indonesia mesti terlebih dahulu mengatasi persoalan yang menghambat sektor manufaktur selama ini, yakni rendahnya produktivitas dan kompleksitas produk hasil manufaktur dalam negeri.

Bambang menyebut, indeks kompleksitas ekonomi Indonesia berada dalam tren menurun dari tahun ke tahun. Penyebabnya, industri manufaktur Indonesia didominasi oleh pengolahan produk bernilai tambah rendah seperti minyak sawit dan batu bara.

Hal ini juga tecermin dari komoditas utama ekspor Indonesia yang justru makin mengarah ke produk non-manufaktur dari masa ke masa. Tahun 2018, komoditas utama ekspor Indonesia terdiri dari batu bara, minyak nabati, dan gas alam.

Selain menyeret indeks kompleksitas ekonomi, kondisi ini juga mengancam stabilitas pertumbuhan ekonomi Indonesia lantaran harga komoditas mentah tersebut sangat rentan terhadap sentimen global dan bergerak dinamis. "Kalau kita tidak melakukan sesuatu dengan ini, pertumbuhan ekonomi kita terancam turun bahkan ke bawah level 5% di tahun-tahun selanjutnya," tandas Bambang.

Kompleksitas produk manufaktur Indonesia yang rendah juga menyebabkan produktivitas sektor manufaktur minim. Ditambah lagi, tenaga kerja industri manufaktur saat ini didominasi 90,45% oleh pekerja berkemampuan rendah (low-skilled).

"Angkatan tenaga kerja Indonesia loncat dari sektor pertanian menuju sektor jasa yang umumnya tradisional. Mestinya, tenaga kerja tersebut berpindah dulu ke sektor manufaktur yang mengutamakan produktivitas tinggi, layaknya di negara-negara seperti China, Taiwan, dan Korea," kata Bambang.

Untuk menghadapi persoalan-persoalan tersebut, Penasihat Departemen Penelitian Ekonomi dan Kerja Sama Regional ADB Jesus Felipe berpendapat, pemerintah perlu lebih serius mengajak sektor swasta untuk bersama-sama mengidentifikasi dan mengatasi masalah pembangunan sektor manufaktur modern. "Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama mendorong inovasi produk yag lebih bervariasi dengan konten teknologi yang lebih tinggi," kata Felipe.

Selain itu, sektor swasta juga memiliki peran penting untuk meningkatkan produktivitas ekonomi dari sisi tenaga kerja melalui proses upskilling melalui training maupun program vokasi oleh setiap perusahaan.

Sementara, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menilai, pemerintah selama ini tidak memiliki arah kebijakan yang jelas dan pasti dalam rangka mendorong industrialisasi. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan sektor manufaktur jalan di tempat, sehingga beimbas pada pertumbuhan ekonomi nasional yang sulit melaju lebih tinggi.

"Kita sudah bicara hilirisasi selama 10 tahun terakhir, tapi tidak pernah jelas tools kebijakannya apa untuk ini? Pemerintah harus pilih dan benar-benar fokus apa yang mau dibangun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang," kata Anton.

Kalau beberapa tahun terakhir pemerintah telah mengutamakan pembangunan infrastruktur, maka periode selanjutnya menjadi saat yang kritis untuk mentransformasi aspek lainnya seperti sistem logistik nasional. Anton menilai, sistem logistik selama ini juga menjadi salah satu penghambat kemajuan industri manufaktur dalam negeri dan membutuhkan perbaikan besar.

Adapun Bambang mengakui, besarnya biaya logistik membuat biaya investasi di industri manufaktur Indonesia menjadi mahal. Sebab, biaya logistik masih berkisar 30% dari total biaya produksi di industri selama ini.

"Sistem logistik kita memang belum baik, dan salah satu yang paling memengaruhi itu adalah infrastruktur. Itu sebabnya infrastruktur telah menjadi prioritas untuk dibenahi beberapa tahun terakhir ini," ujar Bambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×