kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Banyak saham di Jiwasraya, Bentjok: Kenapa cuma saya dan Heru Hidayat yang tersangka?


Rabu, 10 Juni 2020 / 11:25 WIB
Banyak saham di Jiwasraya, Bentjok: Kenapa cuma saya dan Heru Hidayat yang tersangka?
ILUSTRASI. Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana dan penggunaan dana investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang juga Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk Beny Tjokrosaputro menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (3/6/20


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Terdakwa kasus Jiwasraya Benny Tjokrosaputro menolak dakwaan dari jaksa penuntut umum (JPU). Bos PT Hanson International Tbk ini mempertanyakan kenapa Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) tidak membuka transaksi Investasi Jiwasraya secara menyeluruh.

“Apa benar 124 saham tersebut saya yang menggoreng? Mana bukti transaksinya?, Mana counterpart dan aliran dananya? Apakah saya kebagian? Mana bukti-buktinya?. Semua hal yang saya tanyakan itu tidak disebutkan dalam Surat Dakwaan setebal 270-an halaman tersebut Yang Mulia,” kata Benny, dalam pembacaan nota keberatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (10/6).

Pihaknya juga semakin curiga, mengapa jaksa menutupi isi portofolio investasi Jiwasraya seperti saham-saham di grup besar yang tidak pernah diekspos oleh BPK dan kejaksaan.

Baca Juga: SIDANG KASUS JIWASRAYA: PN Jakpus dipenuhi karangan bunga dukungan ke Bentjok

“Saya juga heran mengapa Kejaksaan dan BPK tidak berani merinci transaksi item by item, siapa pelaku sebenarnya, yang sebenar-benarnya untuk siapa, kapan, tiap saham harus dikuliti supaya jelas,” ungkpanya.

Menurutnya, jika jaksa menolak merinci transaksi saham dari item by item berarti mereka sengaja menutupi kebenaran atau melakukan rekayasa.

“Mengapa emiten perusahaan publik yang dijadikan tersangka hanya saya dan Saudara Heru Hidayat saja? Padahal masih banyak Emiten-emiten lainnya yang nilainya jauh lebih besar,” sesalnya.

Pihak menilai, tabel-tabel saham dalam surat dakwaan jaksa sebagai sesuatu yang tidak benar. Sebab, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), saham MYRX masuk dalam Indeks LQ45 untuk periode berturut-turut, yakni periode Februari-July 2016.

Kemudian periode Agustus 2016-Januari 2017, Februari-Juli 2017, Agustus 2017-Januari 2018, dan Februari-Juli 2018. Sebagai Saham yang masuk LQ45 berarti saham MYRX adalah saham blue chips dan bukan saham gorengan.

Sidang kasus dugaan korupsi dan pencucian uang di Asuransi Jiwasraya kembali digelar hari ini (10/6). Agenda sidang kali ini adalah pembacaan nota keberatan (eksepsi) dari para terdakwa dan kuasa hukum.

Sebanyak enam terdakwa yang menjalani sidang tersebut di antaranya, Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.

Kemudian mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, mantan Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan.

Pada sidang rabu lalu (3/6), tim jaksa di kasus ini menyebutkan, enam terdakwa kasus Jiwasraya terlibat korupsi yang mengakibatkan negara rugi senilai Rp 16,80 triliun.

Baca Juga: Kasus Jiwasraya, sidang lanjutan pembacaan nota keberatan digelar hari ini (10/6)

Salah satu tim jaksa, Bima Suprayoga menyatakan, angka kerugian negara tersebut berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi Jiwasraya dari tahun 2008 -2018.

Jaksa mengungkapkan, munculnya dugaan korupsi di kasus ini bermula saat Benny Tjokro, Heru dan Joko menjalin kesepakatan dengan tiga pejabat Jiwasraya. Kesepakatan itu dalam rangka pengelolaan investasi Jiwasraya di saham dan reksadana.

Jaksa menuturkan, Benny, Heru dan Joko melakukan kesepakatan dengan para petinggi Jiwasraya mengenai pengelolaan investasi saham dan reksadana milik perusahaan asuransi pelat merah tersebut. Kerjasama pengelolaan dilakukan sejak tahun 2008 hingga tahun 2018.

Namun, menurut jaksa, kesepakatan itu tidak transparan dan tidak akuntabel. Tiga petinggi Jiwasraya, Hendrisman Rahim, Hary dan Syahmirwan melakukan pengelolaan investasi tanpa analisis yang objektif, profesional dan tak sesuai nota interen kantor pusat.
"Analisis hanya dibuat formalitas," ungkap tim jaksa dalam sidang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×