Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengaku akan menggandeng sejumlah institusi di Tanah Air untuk bisa memenuhi keterbukaan akses beneficial ownership pada tahun depan. Syarat itu diperlukan agar Indonesia bisa menjalankan keterbukaan akses pajak secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI) dengan negara-negara G-20.
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Poltak Maruli John Hutagaol mengatakan, Ditjen Pajak memahami akses terhadap beneficial ownership penting karena bisa menjangkau siapa sesungguhnya yang penerima penghasilan. Sebab, banyak kasus transaksi yang mencatatkan surat pengakuan atas harta (nominee) berbeda dengan yang menerima keuntungan sebenarnya.
Artinya, orang yang benar-benar menerima keuntungan berada di belakang orang yang tercatat secara legal, sehingga tidak tersentuh pajak. "Tentunya komunitas internasional mau melihat apakah regulasi kita sudah meng-cover isu tersebut. Jadi untuk menghadapi asesmen ini Ditjen Pajak tidak bekerja sendirian," kata John, Jumat (14/7).
Lembaga lain yang akan diajak Ditjen Pajak untuk memenuhi standar ini adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan Kementerian Hukum dan HAM. Mereka akan bekerjasama untuk regulasi terkait. "Kami sudah menyiapkan itu dari jauh hari," ujarnya.
John menjelaskan, nantinya pemerintah akan membuat undang-undang (UU) mengenai ketentuan keterbukaan beneficial ownership. Undang-undang itu, menurutnya, kini sedang digodok PPATK dan akan diharmonisasikan dengan aturan perpajakan yang lain. "Jadi nanti kita harmonisasikan aturan di pajak dan PPATK, juga di bursa," ungkap John.
Dengan aturan ini, menurut John, pajak bukan semata-mata instrumen untuk memenuhi penerimaan negara, namun pajak juga bisa menjadi instrumen pengatur perilaku masyarakat. "Global forum ingin mendorong keterbukaan informasi perpajakan. Tidak boleh main-main dengan agresif tax planning," ucapnya.
Seperti diketahui akses beneficial ownership diperlukan untuk mengetahui pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga dan atau royalti baik wajib pajak perorangan maupun wajib pajak badan. Informasi ini diperlukan untuk menggali WP yang berhak sepenuhnya menikmati secara langsung manfaat penghasilan tersebut. Akses ini untuk menciptakan iklim pajak yang adil, sehingga mencegah penghindaran pajak lintas negara.
Head of Global Forum on Transparency and Exchange of Information OECD Monica Bhatia sebelumnya mengatakan, saat ini Indonesia masih dianggap partial comply karena belum adanya akses ataas beneficial ownership. Oleh karena itu Indonesia akan segera direview oleh OECD pada asesmen kedua pada Juni 2018. Menurutnya Global forum OECD memiliki standar semua member harus memenuhi persyaratan tersebut.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, Ditjen Pajak tidak boleh sendirian memenuhi persyaratan beneficial owner. Apalagi KPK juga sudah pernah merintis akses benficial ownership, tapi gagal karena tidak menggandeng pihak lain. Karena itu Ditjen Pajak dan pihak lain, termasuk KPK harus duduk bersama menyamakan visi pentingnya beneficial ownersip. Selain itu tak boleh lagi ada ego sektoral, seperti terjadi saat pembukaan data perbankan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News