Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah menetapkan rasio pendapatan dan belanja negara dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 berada dalam tren moderat dibandingkan tahun 2025.
Kebijakan ini mencerminkan sikap lebih hati-hati pemerintah dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di tengah dinamika perekonomian global maupun domestik yang penuh ketidakpastian.
Baca Juga: Sri Mulyani Pastikan Efisiensi Anggaran Berlanjut di APBN 2026
Dalam dokumen resmi KEM-PPKF 2026 yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada DPR, rasio pendapatan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan berada di kisaran 11,71% hingga 12,22%. Angka ini lebih rendah dibanding target dalam APBN 2025 yang sebesar 12,36%.
Sementara itu, rasio belanja negara terhadap PDB juga diproyeksikan turun ke kisaran 14,19% hingga 14,75% pada 2026. Sebagai perbandingan, rasio belanja dalam APBN 2025 ditetapkan sebesar 14,89% dari PDB.
Penurunan proyeksi rasio pendapatan dan belanja ini mencerminkan kehati-hatian fiskal pemerintah dalam merespons berbagai tantangan eksternal, seperti suku bunga global yang bertahan tinggi (higher for longer), penurunan harga komoditas, serta ketegangan geopolitik yang belum mereda.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, penyusunan KEM-PPKF 2026 menghadapi tantangan luar biasa akibat perubahan global yang sangat drastis dan fundamental.
“Tatanan global yang selama ini dibangun di atas semangat kerja sama internasional kini berubah menjadi fragmentasi dan persaingan antarnegara yang semakin tajam,” ujar Sri Mulyani dalam Sidang Paripurna DPR RI, Selasa (20/5).
Baca Juga: Sri Mulyani: Efisiensi Masih Jadi Pertimbangan Penyusunan Anggaran Belanja pada 2026
Ia menjelaskan bahwa globalisasi, yang sebelumnya menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi, kini semakin digantikan oleh kebijakan proteksionisme dan orientasi inward-looking.
Prinsip ‘my country first’ dinilainya telah merusak kerja sama bilateral maupun multilateral yang selama ini menopang kestabilan ekonomi global sejak Perang Dunia II.
Sri Mulyani juga menyoroti bahwa berbagai blok perdagangan dan investasi internasional mulai ditinggalkan, yang kemudian menimbulkan gangguan serius terhadap rantai pasok global.
Akibatnya, risiko dan biaya transaksi internasional meningkat, serta menciptakan volatilitas tinggi di pasar global.
Selanjutnya: Menelusuri Keberadaan Joint Venture Investree di Qatar, JTA Investree Doha
Menarik Dibaca: 4 Manfaat Makan Salad di Pagi Hari, Berat Badan jadi Cepat Turun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News