Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kinerja perpajakan Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Hal ini tercermin dari angka tax buoyancy atau rasio antara pertumbuhan penerimaan pajak terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang cenderung menurun setiap tahunnya.
Berdasarkan catatan KONTAN, angka tax buoyancy Indonesia mengalami tren penurunan, dari 1,94 pada 2021, menjadi 1,92 pada 2022. Selanjutnya pada tahun 2023, tax buoyancy Indonesia turun lagi ke angka 1,17 dan hanya 0,71 pada 2024.
Sementara itu, tax buoyancy Indonesia pada kuartal I-2025 berada di level -3,71. Artinya, untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak justru menyusut lebih dari tiga kali lipat.
Menanggapi hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus berupaya meningkatkan efektivitas penerimaan negara melalui berbagai langkah strategis.
Baca Juga: Daya Pungut Pajak Semakin Mengerut, Tax Buoyancy Kuartal I-2025 Cetak Minus
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti menegaskan bahwa pihaknya senantiasa melakukan beberapa langkah untuk meningkatkan angka tax buoayancy Indonesia.
Dalam hal ini, DJP Kemenkeu senantiasa mengupayakannya melalui perluasan basis perpajakan, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi.
Selain itu, DJP juga mendorong tingkat kepatuhan dengan memanfaatkan teknologi dalam sistem perpajakan, memperkuat sinergi antar-lembaga, menjalankan program bersama (joint program), serta melakukan penegakan hukum secara konsisten.
Upaya lainnya mencakup menjaga efektivitas implementasi reformasi perpajakan dan harmonisasi kebijakan perpajakan internasional guna meningkatkan rasio perpajakan.
DJP juga memberikan insentif perpajakan yang lebih terarah dan terukur untuk mendukung iklim usaha yang sehat dan mendorong transformasi ekonomi bernilai tinggi.
"(Serta) mendorong penguatan organisasi dan sumber daya manusia (SDM) sejalan dengan dinamika perekonomian," ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Jumat (16/5).
Baca Juga: Komisi XI DPR Panggil Dirjen Pajak, Persoalkan Tax Ratio RI yang Rendah di ASEAN
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa nilai tax buoyancy berada di bawah 1, maka penerimaan pajak tumbuh lebih lambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi, yang menyebabkan tax ratio ikut menurun.
"Tax buoyancy yang kurang dari 1 akan membuat tax ratio kita menjadi lebih rendah (menurun). Sebaliknya, jika tax buoyancy lebih dari 1 maka tax ratio kita akan meningkat," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Jumat (16/5).
Ia menjelaskan, perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi faktor utama di balik lemahnya tax buoyancy. Jika pertumbuhan ekonomi lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya, maka tax buoyancy akan kurang dari 1, sehingga tax ratio juga ikut menurun.
"Ketika pertumbuhan ekonomi lebih lambat, penurunan pertambahan penerimaan pajak akan turun lebih dalam," katanya.
Fajry mencontohkan kondisi tahun lalu, ketika pertumbuhan ekonomi melambat dibandingkan tahun sebelumnya, sehingga tax buoyancy tercatat di bawah 1 dan menyebabkan penurunan tax ratio.
Menanggapi angka tax buoyancy di kuartal I-2025 yang tercatat minus, Fajry menilai angka tersebut masih bersifat sementara.
Baca Juga: Tax Ratio 7,95% di Kuartal I-2025, Pengamat: Indonesia Makin Ketergantungan Utang
Ia optimistis kinerja pajak akan membaik di bulan-bulan berikutnya, sebagaimana yang terjadi tahun lalu.
Namun demikian, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini yang cenderung lebih rendah, ia memperkirakan tax buoyancy kembali akan berada di bawah 1 pada tahun 2025 ini.
“Kinerja penerimaan pajak tahun ini masih akan bergantung pada faktor makroekonomi,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa untuk memperbaiki kondisi tersebut, diperlukan strategi mendorong pertumbuhan ekonomi agar berdampak positif terhadap penerimaan pajak.
Namun demikian, Fajry menilai ruang fiskal saat ini sangat terbatas. Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah mempertimbangkan kebijakan moneter dan deregulasi sebagai langkah alternatif.
“Sulit untuk berharap pada sisi fiskal yang sudah sangat terbatas. Opsi yang bisa dilakukan adalah melalui kebijakan moneter atau melalui kebijakan deregulasi,” pungkasnya.
Selanjutnya: 3 Cara Menurunkan Darah Tinggi pada Ibu Hamil dan Tips Mencegahnya
Menarik Dibaca: 3 Cara Menurunkan Darah Tinggi pada Ibu Hamil dan Tips Mencegahnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News