Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa boleh saja menjanjikan banyak anggaran untuk pengembangan pendidikan. Namun, belum tentu janji itu bisa terlaksana. Apalagi, selama ini banyak anggaran di sektor pendidikan yang belum terpakai secara optimal.
Sejatinya, penyediaan anggaran 20% di sektor pendidikan belum berlangsung lama. Dengan keterbatasan dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), jelas tidak mudah untuk memperbesar porsi tersebut. Kalaupun bisa, pasti harus mengorbankan anggaran di sektor lain.
Bagi, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati, peningkatan anggaran bukanlah kunci utama meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dengan porsi anggaran 20%, sebenarnya sudah cukup menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. "Masalahnya, selama ini penyerapan anggaran pendidikan 20% di APBN jauh dari maksimal," kata Enny, Rabu (4/6).
Enny menjelaskan, setiap tahunnya penyerapan anggaran pendidikan tidak lebih dari Rp 70 triliun setiap tahunnya. Kalau melihat APBN yang mencapai Rp 1.800 triliun, anggaran untuk pendidikan harusnya bisa mencapai sekitar Rp 400 triliun.
Selain itu, penggunaan anggaran juga sering bermasalah. Anggaran tersebut sering terpakai untuk pelatihan pegawai dan gaji pegawai. Pengalokasian ini perlu diperbaiki dan harus jadi prioritas oleh pasangan calon presiden. "Setelah ini diperbaiki, baru bicara kesejahteraan guru," tandasnya.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih menilai, visi-misi pasangan capresi ini belum menunjukkan strategi jangka panjang. Padahal, dalam pendidikan butuh grand strategy hingga 30 tahun ke depan. Pemerintah harus menyiapkan arah pendidikan yang ingin dicapai dalam jangka panjang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News