kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.925   -57,00   -0,36%
  • IDX 7.291   -23,37   -0,32%
  • KOMPAS100 1.117   -4,54   -0,41%
  • LQ45 885   -6,84   -0,77%
  • ISSI 224   0,62   0,28%
  • IDX30 454   -4,21   -0,92%
  • IDXHIDIV20 548   -5,48   -0,99%
  • IDX80 128   -0,56   -0,44%
  • IDXV30 137   -0,32   -0,23%
  • IDXQ30 151   -1,66   -1,09%

Amerika persoalkan pajak digital yang disiapkan Indonesia, bisa picu perang dagang?


Senin, 08 Juni 2020 / 19:20 WIB
Amerika persoalkan pajak digital yang disiapkan Indonesia, bisa picu perang dagang?
ILUSTRASI. Warga mengakses layanan film daring melalui gawai di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi produk digital impor dalam bentuk


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Amerika Serikat (AS) merasa geram dengan sikap Indonesia dan beberapa negara lainnya yang telah dan akan menarik pajak digital. Kendati begitu, sejumlah pihak menilai, pemerintah Indonesia jangan terburu-buru mengambil langkah, sebab bisa picu perang dagang.

Perwakilan Dagang United States Trade Representative (USTR) Robert Lighthizer menyampaikan untuk menindaklanjuti arahan Persiden AS Donald Trump, yakni pihaknya akan menjalankan investigasi ke negara-negara terkait. 

Baca Juga: Pemerintah butuh dana segar untuk tambal defisit APBN, ini kata ekonom

Sebab menurutnya, pajak transaksi elektronik (PTE) atau aksi unilateral berbagai negara saat ini cenderung tidak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan-perusahaan digital asal AS. 

Lighthizer menyebut bila investigasi menemukan adanya pemungutan pajak yang diskriminatif, maka Negeri Paman Sam tidak segan untuk melakukan tarif pembalasan yang bakal diterapkan sebelum akhir tahun.

"Presiden (Donald) Trump khawatir bahwa banyak mitra dagang kami mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara tidak adil. Kami siap untuk mengambil semua tindakan untuk membela bisnis dan kepentingan kami dari diskriminasi semacam itu," kata Lighthzer, dikutip dari Reuters, Jumat (5/6).

Sebelumnya, Sekertaris Jenderal Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Angel Gurria mengatakan terdapat potensi aksi unilateral dari puluhan negara jika konsensus tidak tercapai pada akhir 2020. Menurutnya, aksi unilateral tersebut pada gilirannya dapat meningkatkan risiko perang dagang dalam skala internasional.

Baca Juga: Trump keberatan Indonesia tarik pajak digital, bagaimana sikap DJP?

Dia menyampaikan pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) telah meningkatkan keinginan banyak negara untuk menerapkan pajak layanan digital service tax (DST) hampir di seluruh kawasan. 

Sekjen OECD bilang jika skenario terburuk terjadi dan tidak ada konsensus maka sekitar 40 hingga 50 negara akan bergerak untuk melancarkan aksi unilateral memajaki raksasa ekonomi digital seperti Google, Facebook, Amazon, dan Apple.

Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai risiko jika mengambil langkah unilateral begitu besar, dan mahal. Perang dagang, antara AS dan Indonesia serta negara yang menerapkan pajak digital besar kemungkinannya. 

Menurutnya, rencana pemerintah ini akan jadi bumerang perdagangan ekspor manufaktur dalam negeri, mengingat paling besar ke AS. “Kan tidak lucu, demi uang pajak secuil tapi manufaktur kita mati, padahal pemerintah jor-joran reformasi regulasi (omnibus law) dan birokrasi agar manufaktur bangkit,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (8/6).

Baca Juga: Avrist Assurance bukukan laba setelah pajak sebesar Rp 120 miliar sepanjang 2019

Fajry mengatakan konsensus global mengenai pajak digital adalah jalan terakhir. Menurutnya, OECD akan lebih sepakat dengan hal tersebut. “Cost dan benefitnya pun tak sebanding. Mengingat paling telat tahun 2021 (telat karena covid19) akan ditemukan konsensusnya. Lalu buat apa ada unilateral measure pertengahan tahun 2020,” ujar dia.

Di sisi lain, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menambahkan pemerintah perlu meminimalkan risiko ancaman AS melalui desain PTE yang penentuan thres hold pajak digital dengan hati-hati agar tidak terkesan hanya menyasar perusahaan digital AS saja.

“Kalau menurut saya, kita tidak perlu buru-buru menarik PTE. Jika konsensus ada, maka kita tinggal menyesuaikan. Sedangkan, jika konsensus tidak tercapai, maka kita sudah mengambil ancang-ancang,” ujar Darussalam kepada Kontan.co.id, Senin (8/5).

Baca Juga: Lelang Avanza Veloz dari kantor pajak masih dibuka, modalnya Rp 20 juta

Di sisi lain, kendati mendapat ancaman dari AS, pemerintah Indonesia nampaknya belum mau buka suara. Yang jelas per tanggal 1 Juli nanti, Indonesia bakal menarik pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% atas nilai barang/jasa digital dengan thresh hold tertentu. 

Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/ atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) John Gutagaol sebelumnya menyebutkan, setelah pemerintah berhasil menarik PPN atas perdagangan elektronik, otoritas pajak akan pararel mengenakan pajak penghasilan (PPh) atau PTE perusahaan digital. 

Baca Juga: Penasaran dengan perhitungan pemotongan gaji karyawan setelah ada Tapera?

Hanya saja, pemerintah masih menunggu konsensus global terkait nasib pajak digital. Sayangnya, kesepakatan lebih dari 137 negara/yurisdiksi termasuk Indonesia di dalamnya, akan molor dari waktu sebelumnya yang dijadwalkan berlangsung di bulan ini.

Yang penting, saat ini Indonesia sudah mempunyai payung hukum PPh atau PTE PMSE dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×