Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai risiko jika mengambil langkah unilateral begitu besar, dan mahal. Perang dagang, antara AS dan Indonesia serta negara yang menerapkan pajak digital besar kemungkinannya.
Menurutnya, rencana pemerintah ini akan jadi bumerang perdagangan ekspor manufaktur dalam negeri, mengingat paling besar ke AS. “Kan tidak lucu, demi uang pajak secuil tapi manufaktur kita mati, padahal pemerintah jor-joran reformasi regulasi (omnibus law) dan birokrasi agar manufaktur bangkit,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (8/6).
Baca Juga: Avrist Assurance bukukan laba setelah pajak sebesar Rp 120 miliar sepanjang 2019
Fajry mengatakan konsensus global mengenai pajak digital adalah jalan terakhir. Menurutnya, OECD akan lebih sepakat dengan hal tersebut. “Cost dan benefitnya pun tak sebanding. Mengingat paling telat tahun 2021 (telat karena covid19) akan ditemukan konsensusnya. Lalu buat apa ada unilateral measure pertengahan tahun 2020,” ujar dia.
Di sisi lain, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menambahkan pemerintah perlu meminimalkan risiko ancaman AS melalui desain PTE yang penentuan thres hold pajak digital dengan hati-hati agar tidak terkesan hanya menyasar perusahaan digital AS saja.
“Kalau menurut saya, kita tidak perlu buru-buru menarik PTE. Jika konsensus ada, maka kita tinggal menyesuaikan. Sedangkan, jika konsensus tidak tercapai, maka kita sudah mengambil ancang-ancang,” ujar Darussalam kepada Kontan.co.id, Senin (8/5).
Baca Juga: Lelang Avanza Veloz dari kantor pajak masih dibuka, modalnya Rp 20 juta
Di sisi lain, kendati mendapat ancaman dari AS, pemerintah Indonesia nampaknya belum mau buka suara. Yang jelas per tanggal 1 Juli nanti, Indonesia bakal menarik pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% atas nilai barang/jasa digital dengan thresh hold tertentu.