kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Akademisi : Gugatan 4 rektor terkait susu berbakteri hanya kegenitan intelektual


Sabtu, 21 Mei 2011 / 15:08 WIB
Akademisi : Gugatan 4 rektor terkait susu berbakteri hanya kegenitan intelektual
ILUSTRASI. Kurs dollar-rupiah di BRI hari ini Selasa 11 Agustus, simak sebelum tukar valas./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/17/06/2019.


Reporter: Fahriyadi |

JAKARTA. Empat Rektor Universitas Negeri terkemuka yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Andalasdan Universitas Hasanudin (Unhas) mengajukan gugatan bantahan terkait putusan eksekusi susu formula berbakteri.

Keempat Rektor tersebut dalam gugatannya menginginkan agar putusan itu tidak dieksekusi karena melanggar kode etik penelitian yang dijunjung tinggi dalam kegiatan pendidikan.

Sikap para Rektor tersebut mendapat keprihatinan tersendiri dari akademisi yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Ashidique.

Menurut Jimly, ia sangat kecewa dengan sikap para pimpinan perguruan tinggi tersebut. "Kita tidak usah sebut perguruan tinggi mana, tetapi di sini kita harus mengutamakan hukum ketimbang etika," ujarnya, usai menghadiri peluncuran Gusdur School of Philosophy di Jakarta, Jumat (20/5).

Ia mengatakan kalau norma hukum dan etika saling berhadapan, maka yang harus diutamakan adalah norma hukum. Pasalnya, proses hukum sudah selesai dan putusannya harus dihormati semua pihak.

"Jangan atas nama romantisme etika akademik, lalu bisa menolak putusan pengadilan, itu tidak baik," papar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

Lebih lanjut, Jimly menyebut apa yang dilakukan para petinggi kampus mapan ini adalah sebuah kegenitan intelektual. "Para ilmuwan berpikir bahwa seolah-olah etika ilmiah itu di atas segala-galanya, tidak bisa begitu. Etika itu harus tunduk, karena daya ikat norma hukum lebih tinggi dari etika," jelasnya.

Ia juga mengimbau agar para Termohon eksekusi mengikuti perintah dalam putusan tersebut. Terlebih putusan tersebut diambil dengan sendirinya pasti mempertimbangkan soal etika.

"Kalau sudah diputuskan pengadilan semua pihak harus mengikutinya. Adalah hal yang aneh, hanya atas nama etika ilmiah kemudian kepentingan publik yang sudah tecermin dalam putusan hukum tersebut menjadi terabaikan. Padahal, kita semua membangun untuk kemanusiaan," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×