kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.663.000   13.000   0,79%
  • USD/IDR 16.290   59,00   0,36%
  • IDX 7.024   -49,23   -0,70%
  • KOMPAS100 1.030   -6,74   -0,65%
  • LQ45 801   -8,54   -1,05%
  • ISSI 212   0,00   0,00%
  • IDX30 415   -6,10   -1,45%
  • IDXHIDIV20 501   -4,74   -0,94%
  • IDX80 116   -0,79   -0,67%
  • IDXV30 121   -0,50   -0,41%
  • IDXQ30 137   -1,60   -1,16%

Ada Ramadan Plus Paket Kebijakan, Ekonomi RI Kuartal I 2025 Malah Diramal Stagnan


Rabu, 05 Februari 2025 / 20:36 WIB
Ada Ramadan Plus Paket Kebijakan, Ekonomi RI Kuartal I 2025 Malah Diramal Stagnan
ILUSTRASI. Walau ada sejumlah paket kebijakan stimulus perekonomian seperti diskon tarif listrik dan didorong momentum Ramadan, ekonomi di kuartal I 2025 justru diramal stagnan.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah nampaknya perlu menambah ekstra ‘gula-gula’ untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi awal tahun 2025 ini.

Pasalnya, walau ada sejumlah paket kebijakan stimulus perekonomian seperti diskon tarif listrik dan didorong momentum Ramadan, ekonomi di kuartal I 2025 justru diramal stagnan. Bahkan bisa lebih rendah dari kuartal IV 2024 yang hanya tumbuh 5,02%, dan sepanjang 2024 tumbuh 5,03%.

Kepala Ekonom BCA David Sumual memprediksi, pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2025 hanya akan mencapai kisaran 4,98% hingga 5%.

“Sampai Februari ini (konsumsi) masih lambat walaupun ada kemarin Imlek, kelihatannya dari sisi konsumsi itu masih flat, belum ada katalis baru,” tutur David kepada Kontan, Rabu (5/2).

Baca Juga: Menko Airlangga Pamer Ekonomi Indonesia 2024 Lebih Baik dari Singapura-Arab Saudi

David melihat, konsumsi masih cenderung flat, terbukti dari kondisi net bank balance masih negatif. Ini menunjukkan bahwa konsumen telah menghabiskan tabungan mereka untuk mempertahankan tingkat konsumsi saat ini, yang tidak bisa berlangsung terus-menerus. Fenomena ini terjadi khususnya di rumah tangga kalangan menengah ke bawah.

Adapun tahun ini terdapat beberapa program yang sudah mulai dijalankan pemerintah. Misal, makan bergizi gratis (MBG), kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 6,5%, sejumlah paket stimulus seperti diskon listrik 50% selama dua bulan (Januari-Februari 2025) bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2.200 VA, kebijakan untuk UMKM, dan lainnya.

Sejalan dengan itu, pada kuartal I 2024 juga ada momentum Ramadan, yang biasanya mendorong laju konsumsi rumah tangga.

Meski begitu, David menilai, program MBG yang sudah mulai dijalankan belum terlihat dampaknya secara signifikan. Pasalnya program ini juga masih bertahap dan belum terealisasi 100%.

David menambahkan, memang program MBG akan mendorong sektor-sektor terkait, seperti logistik, packaging, makanan dan minuman. Namun karena belum berjalan maksimal, program tersebut hanya akan menyumbang 0,1% terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal I  2025.

Disamping itu, kinerja ekspor juga diperkirakan masih stagnan pertumbuhannya, dan akan tumbuh melambat dibandingkan dengan impor. Kejadian serupa terjadi pada tahun lalu, yang mana impor justru menghambat dorongan pertumbuhan ekonomi di tahun tersebut.

“Impor melambat disebabkan kondisi globalnya yang nggak kondusif. Amerika mau menerapkan tarif, lalu mau dibalas lagi oleh Kanada, Meksiko, dan Cina. Jadi ini balas-balasan membuat arus perdagangan globalnya juga jadi lesu,” kata David.

Dengan kondisi tersebut, maka akan berimbas pada harga jual barang, atau bahan baku yang meningkat, kemudian membuat permintaan turun, sehingga bisa mengganggu kinerja ekspor Indonesia.

David melihat, kinerja ekspor batubara, hingga nikel dan mineral lainnya masih akan stagnan. Namun setidaknya pemerintah masih bisa mengandalkan tiga komoditas untuk mendorong ekspor, yakni kopi coklat dan Crude Palm Oil (CPO) yang daya belinya lumayan tinggi.

“Saya beberapa perusahaan ngobrol dan juga pelaku usaha di lapangan, itu daya belinya ya terutama terbentuk dari kenaikan harga CPO,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah juga bisa mulai mencari negara tujuan ekspor lainnya, seperti India, Amerika Latin, dan negara-negara bagian selatan, juga Eropa untuk menjadi pangsa ekspor baru.

Lebih lanjut, David menilai, upaya yang bisa dilakukan pemerintah ke depan adalah mendorong investasi yang berkelanjutan dan berdaya saing, utamanya investasi dari asing.

Namun, pemerintah harus memperbaiki Incremental Capital Output Ratio (ICOR) biaya investasi di Indonesia yang terbilang masih mahal bila dibanding negara lainnya.

Baca Juga: Efisiensi Anggaran Jadi Tantangan Laju Pertumbuhan Ekonomi 2025

Hambatan lainnya adalah kepastian proyek yang diinvestasikan berjalan dengan tuntas. Menurut David, alasan realisasi investasi yang masuk belum signifikan dorong pertumbuhan ekonomi adalah karena proyeknya tidak berjalan dengan tuntas atau mangkrak, dan hanya sebatas groundbreaking saja.

“Perbaikan dari sisi pemerintah, perizinannya, terus juga birokrasi, kendala di lapangan untuk realisasi juga perlu diperbaiki untuk menarik investasi,” tembahnya.

Melihat kondisi pada awal tahun ini, David menilai akan cukup sulit mendorong ekonomi lebih tinggi untuk menjadi modal pertumbuhan ekonomi 8% dalam lima tahun ke depan.

Kondisi likuiditas yang masih ketat, faktor eksternal seperti potensi terjadinya perang dagang yang menjadi tantangan perekonomian, juga masih mengkhawatirkan.

Selanjutnya: Netflix Siapkan 5 Film dan 2 Seri Baru di 2025, Sajikan Berbagai Genre Lokal

Menarik Dibaca: Cara Pengajuan KUR BRI 2025 dan Syarat Memperolehnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×