kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

70% Lahan Kalsel dikuasai industri ekstraktif, Jatam dan Walhi minta evaluasi izin


Kamis, 21 Januari 2021 / 10:26 WIB
70% Lahan Kalsel dikuasai industri ekstraktif, Jatam dan Walhi minta evaluasi izin
ILUSTRASI. Kerusakan lingkungan di Kalimatan Selatan


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2021 dibuka dengan sejumlah bencana alam yang melanda wilayah di Indonesia. Salah satu yang menyita perhatian adalah banjir yang melanda wilayah Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan (Kalsel).

Menyoroti bencana tersebut, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah membeberkan bahwa banjir parah di Kalsel tak lepas dari eksploitasi pertambangan batubara, perkebunan sawit dan industri ekstraktif lainnya yang merusak lingkungan.

Merah menjelaskan, dari 3,7 juta hektare (ha) luas Kalsel, sekitar 1,2 juta atau 33% lahan dikuasai oleh pertambangan batubara. Lalu, sekitar 620.000 ha atau 17% dikuasai oleh Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit berskala besar.

"Jadi kalau ditotal (luas lahan tambang batubara dan sawit) itu sudah 50% ditambah lagi dengan perizinan industri ekstraktif lainnya," kata dia kepada Kontan.co.id, Rabu (20/1).

Baca Juga: Ini kata pelaku usaha soal tudingan tambang batubara sebabkan banjir di Kalsel

Selain tambang batubara dan perkebunan sawit, di Kalsel juga terdapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). 

Luas untuk IUPHHK-HA mencapai 234.000 ha, sedangkan HTI seluas 567.000 ha. Angka itu setara 20% dari luas Kalsel.

Jika ditotal dengan lahan pertambangan batubara dan perkebunan sawit, maka luasnya mencapai sekitar 2,6 juta ha. 

"Jadi kalau digabung, itu hampir 70% wilayah Kalsel sudah dikaveling. Jadi total 2,6 juta ha dari 3,7 juta ha luas Kalsel adalah perizinan industri ekstraktif," tegas Merah.

Merah menambahkan, curah izin terhadap industri esktraktif menjadi akar masalah kerusakan lingkungan di Kalimantan. Dari sisi pertambangan saja, Merah memaparkan bahwa terdapat 789 izin pertambangan batubara. 

Dari izin yang digelontorkan oleh pemerintah itu, Merah mencatat bahwa 553 merupakan izin pertambangan yang non Clean n Clear (CnC), sisanya sebanyak 236 Izin Usaha Pertambangan (IUP) berstatus CnC.

"Jadi penyebab utamanya (bencana banjir) menurut kami ya alih fungsi lahan oleh perusahaan tambang," sebut Merah.

Dari seluruh wilayah yang terdampak banjir di Kalsel, Merah menggambarkan tiga daerah yang terkena dampak paling parah. Pertama Kabupaten Kota Baru yang memiliki area pertambangan sebanyak 17.564 ha. Lalu, Kabupaten Tanah Laut dengan area pertambangan seluas 19.598 ha dan Tanah Bumbu dengan luasan wilayah tambang 29.674 ha.

Baca Juga: Badan Geologi Kementerian ESDM: Ada potensi 12 rekomendasi WK Migas Indonesia timur

Lalu, terdapat lahan bekas tambang terlantar yang belum dilakukan reklamasi maupun rehabilitasi. "Terdapat 30.727 ha di tiga kabupaten yang terdampak paling parah itu," sambung Merah.

Melalui analisis citra satelit yang dilakukan Jatam, terdapat 814 lubang bekas tambang. yang tersebar di tiga kabupaten tersebut. "Lubang-lubang tambang ini berkontribusi terhadap peningkatan kawasan lahan kritis," imbuhnya.

Atas kondisi tersebut, Merah meminta pemerintah pusat maupun daerah yang telah menggelontorkan izin, bisa bertanggung jawab. Pemerintah pun diminta harus bisa tegas untuk mengusut dan menindak pelanggaran korporasi yang merusak lingkungan.

Merujuk pada UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, pemerintah pusat dan daerah harus melaksanakan pengawasan terhadap sumber ancaman bencana yang lahir dari kebijakan pemerintah, pembangunan maupun eksploitasi lingkungan hidup. 

"Sumber (banjir) bukan hanya dari volume air, tapi sumber ancaman kebencanaan termasuk dari penguasaan ruang oleh konsesi tambang, lubang tambang yang tak dipulihkan, lahan kritis dan deforestasi," sebut Merah.

Dia pun memberikan empat catatan terkait langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah bencana ini datang kembali. Pertama, pemerintah harus melakukan moratorium izin pertambangan baru dan industri ekstraktif lainnya, termasuk sawit dan HTI.

Kedua, Pemerintah harus melakukan evaluasi, audit, serta mencabut izin tambang dan industri ekstraktif di kawasan penting ekologi. Terutama di kawasan hutan yang sudah mengalami deforestasi, serta di kawasan hulu dan badan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Ketiga, melakukan pengusutan dan penegakan hukum terhadap korporasi tambang dan ekstraktif yang terlibat pelanggaran sehingga menimbulkan bencana. "Itu kan bisa di cek pakai peta risiko dan rawan bencana, perusahaan apa saja yang terkait dengan sumber ancaman bencana," kata Merah.

Keempat, melakukan revisi alokasi tata ruang. Termasuk merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), juga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). "Ini lah yang meligitimasi kehadiran mereka, sehingga 70% dikuasai industri tambang dan ekstraktif. Ini nggak benar, harus segera direvisi semua," sambung Merah.

Baca Juga: Jatam: Banjir Kalsel karena banyaknya izin tambang batubara dan sawit

Hal senada juga disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Dwi Sawung, pihaknya juga mencatat bahwa banjir besar di Kalimantan disebabkan oleh alih fungsi kawasan hutan. Terutama untuk tambang batubara dan sawit.

"50% luas lahan sudah diambil konsesi tambang. 33% sudah diambil konsesi sawit," kata Dwi kepada Kontan.co.id, Rabu (20/1).

Dia pun khawatir perpanjangan izin tambang maupun perizinan baru yang diterbitkan pemerintah akan kian memperparah banjir pada waktu mendatang. Apalagi, belum ada langkah yang tegas dalam pembatasan produksi batubara.

Untuk itu, Walhi pun meminta ada evaluasi serta moratorium perizinan. "Evaluasi izin yang ada, hukum perusahaan yang melanggar izin, tidak memperpanjang atau memberi izin baru," sambung Dwi.

Dengan adanya Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan UU Cipta Kerja, perizinan pun beralih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam hal ini, Merah pun meminta agar kementerian maupun pemerintah untuk bersikap tegas, bukan malah terkesan mencuci tangan korporasi yang menguasai ruang dan lahan di Kalimantan.

Serupa kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19, Merah meminta agar pemerintah menerbitkan kebijakan Pembatasan Eksploitasi Berskala Besar (PEBB). "Karena tidak akan ada ekonomi yang tumbuh di atas planet yang rusak. Pemerintah harus tegas, jika tidak, harus disuntik dengan vaksin keberanian," pungkas Merah.

Selanjutnya: Begini upaya reformasi pelayanan perpajakan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×