Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berkomitmen untuk terus melakukan reformasi di bidang perpajakan. Salah satunya dalam mempermudah dan mempercepat layanan pajak.
Hal tersebut sesuai dengan Reformasi Perpajakan Jilid III yang berlangsung hingga saat ini.
Reformasi Perpajakan Jilid III mengamanatkan pembaruan dalam sistem administrasi perpajakan yang terdiri dari lima pilar. Tiga dari lima pilar tersebut yakni perbaikan proses bisnis, penggunaan teknologi informasi dan basis data, serta regulasi yang mendukung.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam dokumen laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mengatakan, reformasi perpajakan terbukti mampu menambah efektivitas dan efisiensi dalam pelaporan pajak serta secara signifikan mengubah perilaku wajib pajak.
Baca Juga: Diturunkan bertahap, defisit anggaran ditargetkan kembali ke 3% dari PDB pada 2023
Tak berhenti sampai di situ, Menkeu memastikan pihaknya khususnya Ditjen Pajak akan selalu mengawal proses reformasi dan terus berinovasi. Salah satunya dengan unifikasi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh).
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-23/PJ/2020 yang berlaku sejak 28 Desember 2020, SPT Masa PPh unifikasi adalah SPT Masa yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan PPh, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan PPh, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis PPh dalam satu Masa Pajak
Ada lima jenis PPh yang dilaporkan dalam SPT ini, yaitu PPh Pasal 4 Ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Menurut peraturan tersebut, SPT PPh Masa Pasal 21 tidak termasuk yang dilaporkan dalam SPT PPh unifikasi. PPh Pasal 21 memang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis PPh lainnya, terutama pada format pelaporan di akhir tahun.
Adapun yang wajib membuat SPT Masa PPh unifikasi adalah Pemotong dan/atau Pemungut PPh selain instansi pemerintah yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/ atau pemungutan PPh serta telah ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pemotongan dan/atau pemungutan PPh ini dilakukan dengan membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan unifikasi. Ada dua bentuk Bukti Pemotongan/Pemungutan yaitu formulir kertas atau dokumen elektronik yang dibuat dan disampaikan melalui aplikasi e-Bupot unifikasi.
Pemotong dan/atau Pemungut PPh yang masih diperbolehkan melapor secara manual adalah yang membuat tidak lebih dari dua puluh Bukti Pemotongan/ Pemungutan unifikasi dalam satu masa pajak dan yang membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan unifikasi dengan dasar pengenaan PPh (DPP) tidak lebih dari Rp 100 juta untuk tiap Bukti Pemotongan/ Pemungutan unifikasi dalam satu masa pajak. Apabila salah satu kriteria tersebut tidak terpenuhi maka wajib melapor secara elektronik.
Baca Juga: Rasio kepatuhan meningkat, 14,76 juta wajib pajak sudah laporkan SPT Tahunan 2020
Selain itu, kriteria yang wajib elektronik adalah yang membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan unifikasi untuk objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia, giro, dan transaksi penjualan saham; telah menyampaikan SPT Masa elektronik; atau terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, atau KPP Madya.
Pelaksanaan pelaporan SPT Masa unifikasi ini sebelumnya telah dilakukan secara bertahap sejak tahun 2020 di beberapa perusahaan BUMN dengan dasar hukum Perdirjen Nomor PER-20/ PJ/2019. Peraturan ini kemudian dicabut dengan terbitnya Perdirjen Nomor PER-23/PJ/2020 untuk implementasi yang lebih luas.
Sebagai info, Legatum Institute dalam laporannya yang bertajuk Economic Openness: Indonesia Case Study dirilis tahun 2019, disebutkan bahwa selama tahun 2009-2019 Indonesia berhasil mempersingkat waktu pelaporan pajak dari 259 jam menjadi 208 jam per tahun.
Durasi yang diperlukan wajib pajak Indonesia untuk melaporkan pajak di tahun 2019 itu, hanya satu jam lebih lama bila dibandingkan wajib pajak di China.
Selanjutnya: Sri Mulyani jabarkan proses pemilihan Dewan Pengawas SWF
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News